Dasar Dasar Mengapa Kita Harus Memanggil "Sayyidina" Terhadap Nabi Muhammad saw dan juga Terhadap Nabi nabi yang Lainnya.
Kumpulan Cerita Islam (KCI) : Dasar Dasar Mengapa Kita Harus Memanggil "Sayyidina" Terhadap Nabi Muhammad saw dan juga Terhadap Nabi nabi yang Lainnya.
Bismillahirrohmanirrohiim....
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Saya penghulu anak Adam pada hari kiamat. Orang yang paling dahulu muncul dari kubur, orang yang paling dahulu memberi syafa’at dan orang yang paling dahulu dibenarkan memberi syafa’at”. (HR. Imam Muslim dan Abu Daud)
Beriman kepada Allah SWT erat kaitannya dengan keharusan beriman bahwa Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasulullah yang terakhir, penutup sekalian nabi dan rasul; tidak ada lagi Nabi, apalagi rasul sesudah beliau. “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu [1223]., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Ahzab 33:40).
Nabi Muhammad SAW sangat mencintai umatnya. Beliau hidup dan bergaul serta dapat merasakan denyut nadi mereka. Beliau sangat menyayangi umatnya. Beliau ikut menderita dengan penderitaan umat dan sangat menginginkan kebaikan untuk mereka. Tentang sikap beliau ini Allah SWT berfirman yang artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah 9:128)
Kita sebagai umat Nabi Muhammad yang sangat dicintainya, tentunya kita harus mencintai beliau melebihi cinta kepada siapapun selain Allah SWT. Konsekuensi dari cinta kita pada beliau membuktikan bahwa kita betul-betul beriman dan mengerjakan perintahnya serta menjauhi larangannya. Manifestasi dari bentuk cinta itu juga beruapa mengucapkan shalawat kepada beliau. Sebab ketika kita mengucap shalawat, banyak keutamaan yang diberikan kepada kita. Maka orang yang tidak mau mengucap shalawat kepada Nabi saw adalah sebuah tindakan kurang ajar, sekaligus sombong. Setidaknya kekurangajaran itu digambarkan di dalam riwayat dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah saw bersabda: “Orang yang paling bakhil adalah seseorang yang jika namaku disebut ia tidak bersholawat untukku.” [H.R. Nasa’i, Tirmidzi dan Thabaraniy]
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan 40 tempat yang disunnahkan untuk mengucapkan shalawat. Di antaranya adalah:
Sebelum berdoa, sebagaimana disebutkan oleh Fadhalah bin ‘Abid: “Rasulullah SAW mendengar seorang laki-laki berdoa dalam sholatnya, tetapi tidak bersholawat untuk Nabi Muhammad, maka beliau bersabda: “Orang ini tergesa-gesa” Lalu beliau memanggil orang tersebut dan bersabda kepadanya dan kepada yang lainnya: “Bila salah seorang di antara kalian sholat (berdoa) maka hendaklah ia memulainya dengan pujian dan sanjungan kepada Allah lalu bersholawat untuk nabi, kemudian berdoa setelah itu dengan apa saja yang ia inginkan.” [H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dan Hakim]
Ketika menyebut, mendengar dan menulis nama beliau, berdasarkan kepada sabda Rasulullah saw: “Celakalah seseorang yang namaku disebutkan di sisinya lalu ia tidak bersholawat untukku.” [H.R. Tirmidzi dan Hakim]
Dianjurkan memperbanyak shalawat Nabi pada hari Jum’at, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari ‘Aus bin ‘Aus: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya di antara hari-hari yang paling afdhal adalah hari Jum’at, maka perbanyaklah sholawat untukku pada hari itu, karena sholawat kalian akan sampai kepadaku……” [R. Abu Daud, Ahmad dan Hakim]
Ketika masuk dan keluar masjid, sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan dari Fatimah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Bila kalian masuk mesjid, maka ucapkanlah: ”Dengan nama Allah, salam untuk Rasulullah, ya Allah sholawatlah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, ampunilah kami dan mudahkanlah bagi kami pintu-pintu rahmat-Mu.” “Dan bila keluar dari mesjid maka ucapkanlah itu, tapi (pada penggalan akhir) diganti dengan: “Dan permudahlah bagi kami pintu-pintu karunia-Mu.” [H.R. Ibnu Majah dan Tirmidzi]
Ketika Shalat jenazah. Disyari’atkan bershalawat pada shalat jenazah setelah takbir yang kedua didasarkan atas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Umamah ra, bahwa beliau diberitahu oleh seorang shahabat nabi; Bahwa sunnah di dalam shalat bagi mayat adalah imam bertakbir, kemudian membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) setelah takbir pertama, kemudian bershalawat kepada Nabi saw (Hadis Shahih, diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan yang lainnya)
Dalam mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad ditambah dengan lafaz ”sayyidina”. Dalam membaca tambahan ini sebenarnya dari dulu sudah ada, tapi sekarang muncul fatwa-fatwa yang mengatakan bahwa membaca “sayyidina” dalam mengucapkan shalawat kepada Nabi, tidak baik, bahkan ada yang membid`ahkan orang yang melakukannya.
Pengertian dan Hakekat ”Sayyidina”
Kata ”Sayyidina” berasal dari bahasa Arab, merupakan gabungan kata ”Sayyid” (penghulu) dan ”na” dari ”nahnu” berupa kepemilikan (kami/ kita). Bila ada orang yang diberi predikat ”Penghulu”, maka orang tersebut adalah dimuliakan dalam suatu kelompok manusia dan orang yang dijadikan ikutan dan pemimpin dalam segala urusan.
Nabi Muhammad SAW yang diberi sanjungan dengan lafaz ”Sayyidina” berkonotasi pada martabat dan kedudukan dari ”Penghulu” bagi orang mengucapkannya. Lafaz ”sayyidina” itu merupakan maksud bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang kita muliakan, yang kita hormati, yang kita junjung tinggi, dan yang kita jadikan pimpinan dan ikutan lahir bathin, dunia akhirat.
Hakekat dari lafaz ”Sayyidina” pada ungkapan “sayyidina Muhammad”, baik ditambah pada shalawat ataupun saat menyebut namanya adalah bukti dari kita memuliakan beliau sebaik-baiknya dan mengangkat derajat beliau setinggi-tingginya, sesuai dengan kedudukan beliau yang sebenarnya.
Paradigma hukum ”Sayyidina”
Lafaz ”Sayyidina” sebelum mengucapkan nama Nabi Muhammad SAW terdapat perbedaan ulama dalam membolehkannya dan menidaknya, sehingga terdapat minimal dua pendapat.
Pertama: Membaca “sayyidina” sebelum nama Nabi Muhammad SAW dalam shalawat adalah afdhal, yakni lebih baik karena itu berarti memuliakan dan menghormati Nabi SAW. Menambahkan “sayyidina” itu dalam shalawat, merupakan suatu perbuatan yang bernilai melaksanakan perintah Nabi dan pula telah mengucapkan yang benar, yaitu berbicara secara sopan dan beradab. Menambahkan “sayyidina” dan “maulana”, dan lain-lain perkataan yang menyatakan menghormati, memuliakan serta membesarkan Nabi dalam mengucapkan shalawat untuk penghulu kita Nabi Muhammad Saw. Mengucapkan lebih baik dari pada meninggalkan. Ungkapan seperti ini banyak terdapat dalam mazhab Syafi`i.
Kedua: Membaca ”Sayyidina” sebelum nama Nabi Muhammad SAW dalam segala hal, baik shalawat atau tidak, adalah dilarang dan termasuk dalam perbuatan bid`ah, sebab Nabi Muhammad SAW melarang memanggilnya dengan kata ”sayyid”.
Paradigma yang kita hadapi dalam ini lafaz ”Sayyidina” sebelum nama Nabi Muhammad adalah pemahaman-pemahaman yang berkaitan dari maksud dan tujuan dalam mengucapkannya. Pendapat yang membid`ahkannya berdalil pada tidak adanya anjuran Rasulullah dan hadits yang menyatakan setiap perbuatan yang belum ada contoh dari Nabi SAW adalah bid`ah dan setiap bid`ah adalah sesat.
Sedangkan pendapat yang membolehkannya, bahkan dalam mazhab Syafi`i dikatakan afdhal, berkutat pada pemahaman dalil-dalil yang bersifat umum, diantaranya dalam surat Al- A’raf: 157 yang artinya: ”Maka mereka yang beriman pada Nabi, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti Qur’an yang diturunkan kepadanya, mereka itulah yang beruntung mendapat kemenangan”. (Surat al-A`raf : 157).
Dasar kesimpulan pemahaman adalah Orang yang memuliakan Nabi SAW merupakan orang yang akan dapat kemenangan dan keberuntungan. Membaca “sayyidina” adalah dalam rangka memuliakan Nabi Muhammad yang mulia. ”Janganlah kamu memanggil Rasul dengan sebagaimana panggilan sesama kamu”. (Surat al-Nur ayat 63: ).
Dasar pemahaman adalah Ayat ini menyatakan bahwa memanggil Nabi Muhammad SAW haruslah secara terhormat dan sopan, misalnya dengan: ya Rasulullah! Jangan dengan: ya Muhammad saja.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Saya penghulu anak Adam pada hari kiamat. Orang yang paling dahulu muncul dari kubur, orang yang paling dahulu memberi syafa’at dan orang yang paling dahulu dibenarkan memberi syafa’at”. (HR. Imam Muslim dan Abu Daud).
Dasar pemahaman dari hadits ini adalah Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa beliau adalah penghulu anak Adam, dan ini menunjukkan bahwa membaca sayyidina dalam mengucapkan shalawat adalah justru dalam rangka mengamalkan apa yang dikatakannya. Dalam hal ini, Imam al-Nawawi mengemukakan pemahaman hadits ini dengan ketentuan: (1). Nabi Muhammad itu adalah “sayyid”, yakni penghulu anak adam seluruhnya didunia dan akhirat. Kepenghuluan beliau sangat tampak pada alam akhirat dengan tunduk dan menghormatnya seluruh makhluk kepada beliau. (2). Nabi Muhammad menyatakan dirinya sebagai penghulu anak Adam, mengandung maksud dan tujuan yaitu: Mengabarkan yang benar yang mesti dikabarkan kepada ummat supaya mereka mengetahui, mengi’tiqadkan, menyesuaikan amal pekerjaan dengan hal itu, dan menghormati beliau. Juga menjalankan perintah Allah.
Bila kita lihat dengan kaca mata yang dinamis tentang persoalan membaca lafaz ”Sayyidina” sudah terjadi perbedaan itu semenjak dulu. Namun terjadi pada masa sekarang saling salah menyalahkan atau membenarkan pendapatnya dan yang lain tidak benar merupakan sebuah kepicikan.
Padahal dari segi kedalaman ilmu, nyaris hari ini tidak ada lagi sosok seperti mereka. Kalau pun kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang mengikuti pendapat itu sekarang ini. Sebab mereka hanya mengikuti fatwa para ulama yang mereka yakini kebenarannya. Dan selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama sekaliber fuqaha mazhab, kita tidak mungkin menghinanya begitu saja.
Adab yang baik adalah kita menghargai dan mengormati hasil ijtihad itu. Dan tentunya juga menghargai mereka yang menggunakan fatwa itu di masa sekarang ini. Lagi pula, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita sebagai tukang bid’ah. (*)
Penulis Adalah:
Kasi MTQ pada Bidang Penamas
Kanwil Kemenag Riau
sumber tulisan : http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=13572
No comments :