Rukun Iman; "Beriman Kepada Qada dan Qadar"
Pengertian Qadha Dan Qadar; Qadha menurut bahasa yaitu hukum, ketetapan, pemerintah, kehendak, pemberitahuan, dan penciptaan. Sedangkan menurut istilah, qadha ialah ketetapan Allah SWT sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya, tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk ciptaan-Nya. Sedangkan Qadar menurut bahasa yaitu kepastian, peraturan, dan ukuran. Sedangkan menurut istilah, qadar adalah perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah SWT terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya.
Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa diri manusia pasti telah digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang Mahabijaksana. Semua telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir, dan berupaya memperbaiki citra diri.
Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah swt., seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah swt. Ia akan berubah menjadi batu karang yang tegar menghadapi segala gelombang kehidupan dan senantiasa sabar dalam menyongsong badai ujian yang silih berganti. Ia juga selalu bersyukur apabila kenikmatan demi kenikmatan berada dalam genggamannya. Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Rasul berikut ini.
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). [QS. Al-An’aam (6): 59]
Tiada seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah? Beliau menjawab, Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal).” Kemudian beliau membaca ayat ini, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar [QS. Al-Lail (92): 5-10].” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)
Sangat mengherankan seorang mukmin itu, karena semua urusannya mengandung kebaikan. Dan yang demikian itu tidak pernah dimiliki seseorang kecuali orang mukmin; apabila ia diuji dengan kenikmatan (kebahagiaan), ia bersyukur. Maka, inilah kebaikan baginya. Dan apabila ia diuji dengan kemelaratan (kepayahan), ia bersabar. Maka, inilah kebaikan baginya.” (HR Muslim dari Abu Yahya Shuhaib bin Shinan)
Secara etimologi, qadha memiliki banyak pengertian, diantaranya sebagaimana berikut:
1. Pemutusan, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “(Dia) yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan sesuatu perkara, hanya Dia mengatakan: Jdilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah (2): 117]
2. Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al-Israa` (17): 23]
3. Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat, “Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]
Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir 4/78)
Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini. “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” [QS. Fushshilat (41): 10]
Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).
Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari 11/477)
Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.
Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).
Dalil-dalil Qadha dan Qadar
Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa Syeikh Al-Islam, 8/258).
Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini.
Hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw. ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk.” (HR. Muslim)
Sekiranya Allah swt. menyiksa penduduk langit dan bumi, maka Dia sungguh melakukannya tanpa menzalimi mereka. Dan sekiranya Dia mengasihi mereka, maka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka. Dan sekiranya kamu memiliki emas seperti Gunung Uhud atau semisalnya, lalu kamu infakkan di jalan Allah, maka Dia tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman terhadap qadar dan kamu mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika kamu mati atas (aqidah) selain ini, maka niscaya kamu masuk neraka.” (HR. Ahmad, dari Zaid bin Tsabit)
Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan qadha dan qadar-Nya berikut ini.
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [QS. Al-Qamar (54): 49]
(Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh, sedangkan kafilah itu berada di bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Anfaal (8): 42]
“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” [QS. Al-Ahzab (33): 38]
“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah…,’ Ia bertanya, ‘Apa yang saya tulis?’ Dia berfirman, ‘Maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)
“Tiada seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal),’ kemudian beliau membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” [QS. Al-Lail (92): 5-10]
Rukun-rukun Iman Kepada Qadha Dan Qadar
Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak tangga tersebut.
Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.
Pertama, Ilmu Allah swt. Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus beriman kepda Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di masa yang akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.
Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah berikut ini.
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [QS. Ath-Thalaaq (65): 12]
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-Hasyr (59): 22]
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” [QS. Al-An’aam (6): 59]
“Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika menciptakan mereka.” (HR Muslim)
Kedua, Penulisan Takdir. Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah swt. menulis dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan amal” yang dijaga. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hajj (22): 70]
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” [QS. Al-An’aam (6): 38]
“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah….” Ia bertanya, ‘Apa yang aku tulis?’ Dia berfirman, maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR. Ahmad)
Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah berfirman,
“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” [QS. Faathir (35): 44]
Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur`an, di antaranya sebagai berikut.
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” [QS. At-Takwiir (81): 29]
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” [QS. Al-An’aam (6): 39]
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” [QS. Yaasiin (36): 82]
“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih (memahami) agama ini.” (HR. Bukhari)
Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.
“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak
Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada
Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui
Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta
Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan
Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)
Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung
Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik
Keempat, Penciptaan-Nya. Ketika beriman terhadap qadha dan qadar, seorang mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” [QS. Az-Zumar (39): 62]
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.” [QS. Al-Furqaan (25): 2]
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat Itu.“ [QS. Ash-Shaaffat (37): 96]
“Sesungguhnya, Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.” (HR. Hakim)
Inilah empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini setiap muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai gerbang keimanan yang sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat rukun tersebut berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan ketika bangunan iman terhadap qadar rusak, maka juga akan menimbulkan kerusakan pada bangunan tauhid itu sendiri.
Macam-macam Takdir
Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah swt. memerintahkan Al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hadiid (57): 22]
“Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.” (HR. Muslim)
Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini.
“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia….” (HR. Bukhari)
Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [QS. Ad-Dukhaan (44): 4-5]
Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.
Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” [QS. Ar-Rahmaan (55): 29]
Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.
Berdalih dengan Qadar dalam Kemaksiatan dan Musibah
Semua yang ditakdirkan oleh Allah swt. selalu tersirat hikmah dan maslahat bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang telah diketahui oleh-Nya. Maka, Dia tidak pernah menciptakan kejelekan dan keburukan murni yang tidak pernah melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan keburukan ini tidak boleh dinisbatkan kepada Allah swt., melainkan dinisbatkan kepada amal perbuatan manusia. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah mengandung keadilan, hikmah, dan rahmat .
Hal ini berdasarkan firman Allah swt., “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” [QS. An-Nisaa` (4): 79]
Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan kemaksiatannya.
Allah membenci kekufuran dan kemaksiatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, Dia mencintai dan meridhai ketakwaan dan kesalehan. Dia juga menunjukkan dua jalan untuk hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan akal untuk memilih salah satu jalan tersebut sesuai pilihan dan kehendaknya. Maka, barangsiapa yang memilih jalan kebaikan ia berhak mendapat ganjaran dan yang memilih jalan keburukan atau kebatilan maka ia berhak mendapat siksa oleh karena hal ini dilakukan secara sadar dan atas pilihannya sendiri tanpa ada unsur paksaan. Meskipun sebab-sebab dan factor-faktor pendorong amal perbuatannya tidak lepas dari kehendak Allah swt.
Maka, tidak ada alasan dan hujjah lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran dan kemaksiantan yang dilakukannya karena takdir Allah swt. Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi-at Allah atas kekufuran mereka seperti dalam firmanNya;
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” [QS. Al-An’aam (6): 148-149]
“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.’ Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka, maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Tiap-tiap umat mempunyai rasul yang diutus untuk menerangkan kebenaran.” [QS. An-Nahl (16): 35]
Adapun berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpa manusia dapat dibenarkan Islam. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Nabi Adam dan Nabi Musa tentang musibah dikeluarkannya Bani Adam dari surga.
“Adam dan Musa berbantah-bantahan. Musa berkata, ‘Wahai, Adam, Anda adalah bapak kami yang telah mengecewakan dan mengeluarkan kami dari surga. Lalu Adam menjawab, ‘Kamu, wahai Musa yang telah dipilih Allah dengan Kalam-Nya dan menuliskan untkmu dengan Tangan-Nya, apakah kamu mencela kepadamu atas suatu perkara yang mana Allah telah menakdirkan kepadaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi bersabda, ‘Maka, Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.’” (HR. Muslim)
Buah Iman Kepada Qadar
Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah swt. secara benar akan melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi setiap permasalahan hidup.
Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab “Al-Qadha wa Al-Qadar” menyimpulkan buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.
Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan.
Kedua, tetap istiqamah. “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” [QS. Al-Ma’arij (70): 19-22]
Ketiga, selalu berhati-hati. “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” [QS. Al-A’raaf (7): 99]
Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan.
Hubungan Antara Qadha Dan Qadar
Qadha dan qadar selalu berhubungan erat. Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah SWT sejak zaman Azali. Sedangkan qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah SWT. Jadi hubungan antara qadha dan qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Perbuatan Allah SWT berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah SWT berfirman : ”Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya, dan kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”.
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu istilah, yaitu qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar dijelaskan bahwa antara qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan-Nya. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut
Artinya ” Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu istilah, yaitu
Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
Beriman kepada qadha dan qadar merupakan rukun iman yang keenam. Qadha adalah ketentuan akan kepastian yang datangnya dari Allah SWT terhadap segala sesuatu sejak zaman azali, yaitu sejak zaman sebelum sesuatu itu terjadi. Segala sesuatu yang terjadi telah diketahui Allah SWT terlebih dahulu karena Dialah yang merencanakan serta yang menentukannya. Seluruh makhluk, baik malaikat, syetan, jin, maupun manusia tidak akan mengetahui rencana-rencana Allah SWT tersebut.
Manusia punya rencana, tetapi Allah SWT yang menentukan. Ungkapan ini merupakan salah satu bentuk cara memahami qadha dan qadar Allah SWT. Manusia memang diberi kemampuan untuk berbuat dan berpikir, namun kedudukan Allah SWT dan kekuasaan-Nya adalah di atas segala-galanya.
Ketentuan Allah SWT ini merupakan hak mutlak (absolut), tanpa campur tangan siapapun dan dari manapun. Oleh karena itu manusia harus mau menerima kenyataan. Kemampuan manusia terbatas pada ikhtiar untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Sedangkan berhasil atau gagal, ini merupakan kekuasaan Allah SWT semata. Rasulullah saw bersabda :
Artinya : “Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a katanya: baginda s.a.w bersabda: Allah SWT mengutus Malaikat ke dalam rahim. Malaikat berkata: Wahai Tuhan! Ia masih berupa air mani. Setelah beberapa waktu Malaikat berkata lagi: Wahai Tuhan! Ia sudah berupa segumpal darah. Begitu juga setelah berlalu empat puluh hari Malaikat berkata lagi: Wahai Tuhan! Ia sudah berupa segumpal daging. Apabila Allah SwT membuat keputusan untuk menciptakannya menjadi manusia, maka Malaikat berkata: Wahai Tuhan! Orang ini akan diciptakan lelaki atau perempuan? Celaka atau bahagia? Bagaimana rezekinya? Serta bagaimana pula ajalnya? Segala-galanya dicatat ketika masih di dalam kandungan ibunya”. (HR Bukhari dan Muslim)
Qadar adalah ketentuan-ketentuan Allah SWT yang telah berlaku bagi setiap makhluk sesuai dengan ukuran dan ketentuan yang telah dipastikan oleh Allah SWT sejak zaman azali. Oleh karena itulah, baik buruknya telah direncanakan terlebih dahulu oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.” (QS Ar Ro’du: 8)
Dari pengertian hadis dan ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa qadha dan qadar atas diri manusia telah diputuskan oleh Allah SWT sebelum manusia ada atau dilahirkan ke dunia ini. Dalam kehidupan sehari-hari, istilah qadha dan qadar biasa disebut juga dengan takdir. Jadi, beriman kepada qadha dan qadar dapat dikatakan pula dengan beriman kepada takdir.
Takdir baru dapat diketahui oleh manusia dengan kenyataan atau peristiwa yang yang telah terjadi, contoh :
1. Terjadinya musibah bencana tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember tahun 2004 yang merenggut ratusan ribu korban meninggal dunia. Sebelum kejadian tersebut tak ada seorangpun yang mengetahuinya.
2. Dalam suatu kejadian kecelakaan yang menewaskan seluruh penumpang ternyata ada seorang bayi yang selamat. Menurut ukuran akal, si bayi adalah makhluk yang sangat lemah dan tidak mampu mencari perlindungan, tetapi malah dia yang selamat. Sementara penumpang lain yang sudah dewasa dan dapat berusaha menyelamatkan diri malah meninggal dunia.
3. Ada seorang yang dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin. Orang sekampung memperkirakan anak tersebut kelak juga akan menjadi miskin seperti orang tuanya. Namun, setelah anak tersebut dewasa ternyata menjadi orang yang pandai berdagang, sehingga dia menjadi orang yang kaya.
Contoh-contoh di atas hanyalah merupakan bagian kecil ari peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan takdir Allah SWT. Masih banyak sekali peristiwa yang bisa kita pahami sebagai perwujudan dari qadha dan qadar dari Allah SWT. Namun dari berbagai contoh di atas menunjukkan bahwa qadha dan qadar Allah SWT akan tetap berlaku kepada setiap makhluk-Nya. Oleh karena itu, orang beriman harus meyakini dengan sepenuh hati akan adanya qadha dan qadar. Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (takdir) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”. (QS. Yasin : 38)
Dalam surat al-Hadid ayat 22, Allah juga berfirman :
Artinya : “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. al-Hadid : 22)
Kewajiban Beriman Kepada Qadha Dan Qadar
Kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi kepada diri kita, baik yang baik maupun yang buruk adalah kehendak Allah SWT. Sebagai seorang yang beriman, kita mesti ikhlas menerima segala ketentuan Allah SWT atas apa yang telah ditentukannya kepada diri kita.
Di dalam sebuah hadits qudsi, Rosulullah SAW bersabda yang artinya:
”Barangsiapa yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku, dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani)
Takdir Allah SWT merupakan iradah atau kehendak Allah SWT. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah SWT kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah SWT maha mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
Macam-macam Takdir
Meskipun segala sesuatu yang terjadi di jagat raya ini sudah ditentukan oleh Allah sejak zaman azali, tetapi pemberlakuan takdir Allah tersebut ada juga yang mengikutsertakan peran makhluk-Nya. Karena itulah, takdir dibagi menjadi dua, yaitu takdir mubram dan takdir mu’allaq :
1. Takdir Mubram
Dalam bahasa Arab, mubram artinya sesuatu yang sudah pasti, tidak dapat dielakkan. Jadi, takdir mubram merupakan ketentuan mutlak dari Allah SWT yang pasti berlaku atas setiap diri manusia, tanpa bisa dielakkan atau di tawar-tawar lagi, dan tanpa ada campur tangan atau rekayasa dari manusia.
Contoh takdir mubram antara lain :
Waktu ajal seseorang tiba
Usia seseorang
Jenis kelamin seseorang
Warna darah yang merah
Bumi mengelilingi matahari
Bulan mengelilingi bumi
Jika Allah sudah menetapkan bahwa seseorang akan mati pada suatu hari, di suatu tempat, pada jam sekian, maka orang tersebut pasti akan mati pada saat dan tempat yang sudah ditentukan itu. Ia tidak akan bisa lari atau bersembunyi dari malaikat Izrail, meskipun ia berada di dalam sebuah tembok benteng yang sangat kokoh. Allah SWT. berfirman :
Artinya : “Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, meskipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…” (QS. an-Nisa : 78)
2. Takdir Mu’allaq
Dalam Bahasa Arab, mu’allaq artinya sesuatu yang digantungkan. Jadi, takdir mu’allaq berarti ketentuan Allah SWT yang mengikutsertakan peran manusia melalui usaha atau ikhtiarnya. Dan hasilnya aakhirnya tentu saja menurut kehendak dan ijin dari Allah SWT. Allah SWT. berfirman :
Artinya : “…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS. ar-Ra’d : 11)
Beberapa contoh takdir mu’allaq antara lain adalah kekayaan, kepandaian, dan kesehatan. Untuk menjadi pandai, kaya, atau sehat, seseorang tidak boleh hanya duduk berpangku tangan menunggu datangnya takdir tapi ia harus mengambil peran dan berusaha. Untuk menjadi pandai kita harus belajar; untuk menjadi kaya kita harus bekerja keras dan hidup hemat; dan untuk menjadi sehat kita harus menjaga kebersihan. Tidak mungkin kita menjadi pandai kalau kita malas belajar atau suka membolos. Demikian juga kalau kita ingin kaya, tetapi malas bekerja dan suka hidup boros; atau kita ingin sehat, tetapi kita tidak menjaga kebersihan lingkungan, maka apa yang kita inginkan itu tak mungkin terwujud.
Sebagaimana ciri orang yang beriman kepada qadha dan qadar di atas, orang yang meyakini takdir Allah SWT, tidak boleh pasrah begitu saja kepada nasib karena Allah SWT memberikan akal yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Allah SWT juga memberikan tubuh dalam bentuk sebaik-baiknya untuk digunakan sarana berusaha.
Dengan demikian, jelaslah bahwa beriman kepada qadha dan qadar Allah bukan berarti kita hanya pasrah dan duduk berpangku tangan menunggu takdir dari Allah; melainkan juga berusaha yang giat sepenuh hati mengubah nasib sendiri, berupaya bekerja dengan keras mencapai apa yang kita citacitakan.
Bagaimana manusia menyikapi takdir Allah SWT tersebut ? Untuk lebih memahaminya simaklah pembahasan mengenai iman kepada Qadha dan Qadar berikut ini !
Ciri Beriman Kepada Qadha dan Qadar.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang dihadapkan kepada kenyataan hidup yang dialaminya. Kenyataan itu kadang ada yang berbentuk positif dan terkadang negatif, seperti :
ada yang memuaskan ada yang tidak,
ada yang menyenangkan ada yang menyusahkan,
ada yang menurut kita baik ada yang buruk, dan sebagainya.
Bagi orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apapun kenyataan dan peristiwa yang dialaminya, akan ditanggapi dan diterima secara positif. Sebaliknya, bagi orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, kenyataan apapun yang diterima ditanggapi dan diterima secara negatif.
Contoh :
Orang beriman yang tertimpa musibah menanggapi kenyataan ini dengan kesabaran dan ketabahan. Kesabaran dan ketabahan merupakan sika positif yang dinilai Allah SWt dengan pahala. Jadi, selama dia sabar dan tabah, selama itu pula pahalanya terus mengalir.
Orang beriman ketika mendapatkan keberuntungan besar bersyukur dan merasa bahwa semua itu karunia dari Allah SWT. Untuk itu ia ingin berbagi kepada orang lain dengan menafkahkan sebagian keuntungannya tersebut.
Orang yang tidak beriman ketika mendapat musibah merasa bahwa dirinya tidak berguna lagi. Dia merasa putus asa dan akhirnya melampiaskannya dengan berbagai macam perbuatan yang merusak, seperti melamun, merokok, mengkonsumsi narkoba, bahkan ada yang bunuh diri.
Orang yang tidak beriman ketika mendapat keuntungan bisnis yang berlimpah malah menggunakannya untuk berfoya-foya. Dia merasa bahwa yang didapatnya itu semata-mata merupakan prestasi yang harus diraakan dan dia berhak dan bebas menggunakan sesuka hatinya.
Dengan memahami contoh-contoh tersebut, yakinkah kamu bahwa beriman kepada qadha dan qadar mempunyai peranan penting dalam kehidupan? Kalau yakin, tentu kamu ingin meningkatkan keimananmu kepada qadha dan qadar. Bagaimana ciri-ciri orang yang beriman kepada qadha dan qadar? Berikut ini merupakan ciri orang yang beriman kepada qadha dan qadar.
1. Selalu menyadari dan menerima kenyataan.
Iman kepada qadha dan qadar dapat menumbuhkan kesadaran yang tinggi untuk menerima kenyataan hidup. Karena yang terjadi adalah sudah pada garis ketentuan Allah pada hakekatnya bencana atau rahmat itu semata-mata dari Allah SWT. Firman Allah SWT :
Artinya : “Katakanlah: “Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Allah menghendaki bencana atasmu, atau menghendaki rahmat untuk dirimu dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah”. (QS. al-Ahzab : 17)
2. Senantiasa bersikap sabar.
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar akan senantiasa menerima segala sesuatu dengan penuh kesabaran, baik dalam situasi yang sempit atau susah dan tetap bersabar dalam situasi senang atau bahagia. Dengan demikian orang yang beriman kepada takdir Allah SWT senantiasa dalam keadaan yang stabil jiwanya.
Artinya : “Apakah manusia itu mengira mereka akan dibiarkan, sedang mereka tidak diuji lagi ?”. (QS. al-Ankabut : 2)
Wujud ujian dan cobaan bisa berupa tiadanya biaya pendidikan, fisik yang lemah, penyakit, orang tua meninggal, dilanda bencana alam, dan sebagainya. Perhatikan firman Allah berikut :
Artinya : “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah : 155)
Renungkan ayat 155 surat al-Baqarah, yaitu supaya memberi berita gembira kepada orangorang yang sabar. Memang dalam menghadapi cobaan diperlukan sikap sabar. Tanpa sikap sabar akan sulit manusia mencapai sukses.
3. Rajin dalam berusaha dan tidak mudah menyerah.
Agar seseorang terus giat berusaha ia pun yakin bahwa segala hasil usaha manusia selalu diwaspadai, dinilai, serta diberi balasan. Firman Allah :
Artinya : “Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan di perlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)”. (QS an-Najm : 39-42)
4. Selalu bersikap optimis, tidak pesimis.
Keyakinan terhadap Qadha dan Qadar dapat menumbuhkan sikap yang optimis tidak mudah putus asa. Karena ia yakin walau sering gagal, pasti suatu saat akan berhasil sehingga tidak akan berputus asa. Firman Allah SWT :
Artinya : “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf : 87)
5. Senantiasa menerapkan sikap tawakal.
Tawakal (berserah diri0 kepada Allah SWT akan tumbuh pada diri seseorang jika ia meyakini bahwa segala sesuatu telah dikehendaki Allah. Allah Maha bijaksana sehingga menurut keyakinannya Allah tidak mungkin menyengsarakannya. Allah sumber kebaikan sehingga tidak mungkin Allah menghendaki hamba-Nya kepada keburukan. Firman Allah SWT :
Artinya : “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu. Tidak ada satu binatang melata pun, melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (QS. Hud : 56)
Seperti yang telah disebutkan diatas, Pengertian Qadha dan Qadar Menurut bahasa Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan, pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Firman Allah:
Artinya: yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS .Al-Furqan ayat 2).
Kenyataan bahwa saat terjadinya disebut qadar atau takdir. Dengan kata lain bahwa qadar adalah perwujudan dari qadha.
Kewajiban Beriman Kepada Qada dan Qadar
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam. Lelaki itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah menjawab yang artinya: Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman pula kepada qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut berkata” Tuan benar”. (H.R. Muslim)
Lelaki itu adalah Malaikat Jibril yang sengaja datang untuk memberikan pelajaran agama kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jawaban Rasulullah yang dibenarkan oleh Malaikat Jibril itu berisi rukun iman. Salah satunya dari rukun iman itu adalah iman kepada qadha dan qadar. Dengan demikian, bahwa mempercayai qadha dan qadar itu merupakan hati kita. Kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan adalah atas kehendak Allah.
Sebagai orang beriman, kita harus rela menerima segala ketentuan Allah atas diri kita. Di dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang artinya: ” Siapa yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani)
Takdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita bersyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
Hubungan Antara Qadha dan Qadar dengan Ikhtiar
Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluknya. Berkaitan dengan qadha dan qadar, Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut;
Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaekat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupnya) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya.
Janganlah sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas berusaha dan berbuat kejahatan. Pernah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, seorang pencuri tertangkap dan dibawa kehadapan Khalifah Umar. ” Mengapa engkau mencuri?” tanya Khalifah. Pencuri itu menjawab, ”Memang Allah sudah mentakdirkan saya menjadi pencuri.”
Mendengar jawaban demikian, Khalifah Umar marah, lalu berkata, ” Pukul saja orang ini dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya!.” Orang-orang yang ada disitu bertanya, ” Mengapa hukumnya diberatkan seperti itu?”Khalifah Umar menjawab, ”Ya, itulah yang setimpal. Ia wajib dipotong tangannya sebab mencuri dan wajib dipukul karena berdusta atas nama Allah”.
Mengenai adanya kewajiban berikhtiar , ditegaskan dalam sebuah kisah. Pada zaman nabi Muhammad SAW pernah terjadi bahwa seorang Arab Badui datang menghadap nabi. Orang itu datang dengan menunggang kuda. Setelah sampai, ia turun dari kudanya dan langsung menghadap nabi, tanpa terlebih dahulu mengikat kudanya. Nabi menegur orang itu, ”Kenapa kuda itu tidak engkau ikat?.” Orang Arab Badui itu menjawab, ”Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah”. Nabi pun bersabda, ”Ikatlah kudamu, setelah itu bertawakkalah kepada Allah”.
Dari kisah tersebut jelaslah bahwa walaupun Allah telah menentukan segala sesuatu, namun manusia tetap berkewajiban untuk berikhtiar. Kita tidak mengetahui apa-apa yang akan terjadi pada diri kita, oleh sebab itu kita harus berikhtiar. Jika ingin pandai, hendaklah belajar dengan tekun. Jika ingin kaya, bekerjalah dengan rajin setelah itu berdo’a. Dengan berdo’a kita kembalikan segala urusan kepada Allah kita kepada Allah SWT. Dengan demikian apapun yang terjadi kita dapat menerimanya dengan ridha dan ikhlas.
Mengenai hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar ini, para ulama berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam :
1.Takdir mua’llaq: yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contoh seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian. Dalam hal ini Allah berfirman:
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. ( Q.S Ar-Ra’d ayat 11)
2.Takdir mubram; yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.
Hikmah Beriman kepada Qada dan Qadar
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain:
1.Melatih diri untuk banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian
Firman Allah yang Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).
2.Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.
Firman Allah SWT Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat 87)
Sabda Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim)
3.Memupuk sifat optimis dan giat bekerja
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu.
Firaman Allah Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)
4.Menenangkan jiwa
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku.( QS. Al-Fajr ayat 27-30)
Keyakinan Terhadap Qada dan Qadar
Karena persoalan Qadha dan Qadar erat hubungannya dengan akidah, maka pandangan yang diberikan dan diskusi yang dilakukan mengenai persoalan ini harus dengan metode rasional—sebagaimana pembahasan sebelumnya—supaya keimanan yang lurus dan benar bisa dicapai. Metode rasional ini tidak menerima bukti-bukti filsafat dan logika mantik yang abstrak dan imajiner yang tidak berdasarkan fakta konkret dan terindra.
Asas pertama dalam akidah, yaitu keimanan terhadap eksistensi Allah al-Khaliq al-Mudabbir ditetapkan dengan metode rasional yang berlandaskan pada sesuatu yang terindra. Begitu pula asas kedua, yaitu mengimani al-Quran al-Karim sebagai risalah bagi seluruh manusia,
serta asas ketiga, yaitu mengimani Nabi Muhammad saw. adalah utusan Allah Swt. bagi seluruh manusia dibangun berlandaskan pada sesuatu yang terindra pula.
Adapun perkara-perkara gaib yang terkandung dalam al-Quran dan Hadis Mutawatir sebagai asas keempat juga ditetapkan dengan metode rasional yang berlandaskan pada sesuatu yang terindra. Masih ada tersisa satu asas keimanan, yaitu masalah Qadha dan Qadar dan tentu saja pembahasannya harus ditempuh dengan cara yang sama, yaitu metode rasional yang berlandaskan pada sesuatu yang terindra dan menolak metode mantik atau filsafat karena semua itu bersifat dzann (persangkaan). Adapun akidah dasarnya harus sesuatu yang meyakinkan dan tidak akan sampai pada keyakinan selain sesuatu yang meyakinkan. Allah Swt. Berfirman:
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan sesungguhnya persangkaan itu tiada berguna sedikit pun terhadap kebenaran. (QS an-Najm [53]: 28).
Apakah mengimani Qadha dan Qadar merupakan perkara yang dituntut oleh al-Quran dan Hadis Mutawatir? Bagaimana munculnya masalah ini dan menjadi bagian dari Akidah Islam? Pendapat seperti apa yang memberi keyakinan dan kepastian, juga memberi ketenangan dalam jiwa dan dapat memuaskan akal yang menjadikan Qadha Qadar ini bagian dari Akidah Islam? Bagaimana masalah Qadha dan Qadar ini muncul dalam pemikiran Islam dan menjadi salah satu asas Akidah Islam? Selain itu, apakah al-Quran serta Hadis Mutawatir menuntut kaum Muslim untuk mengimani Qadha dan Qadar? Pertanyaan ini akan dijawab dalam bab berikut.
Setelah futûhât Islam (pembukaan daerah oleh kaum Muslim) makin luas, terjadilah benturan pemikiran yang amat keras antara kaum Muslim dengan penganut agama lain yang mengemban pemikiran filsafat Yunani. Hal ini menimbulkan keinginan yang kuat pada kaum Muslim untuk mendakwahkan Islam dengan berbekal senjata berupa filsafat saat melawan musuh mereka. Di samping itu, sudah menjadi ciri khas ajaran Islam yang memerintahkan untuk berdebat dengan musuh Islam:
Bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS an-Nahl [16]: 125).
Dari perdebatan ini, lahirlah ilmu kalam dan ulama Mutakallimin. Mereka membela Islam dengan metode pembahasan, penetapan, dan penggalian dalil yang khas. Metode mereka menyalahi metode al-Quran, hadis, dan Sahabat, serta pada saat yang sama juga berbeda dengan metode filsafat Yunani. Perbedaan metode mereka dengan metode al-Quran; al-Quran berjalan di atas dasar fitrah dan akal yang berlandaskan pada sesuatu yang terindra, bukan pada logika abstrak dan filsafat khayali.
Sementara itu, perbedaan mereka dengan metode filsafat Yunani; filsafat Yunani bersandar pada bukti akal semata, sedangkan Mutakallimin mengambil bukti dengan dalil rasional untuk mengimani Allah, Rasul, dan Kitab-Nya. Jadi, kesalahannya adalah ketika mencari bukti, mereka bersandar pada logika mantik, bukan pada pengindraan sehingga bertentangan dengan Islam. Tidak terkecuali mereka pun membahas sesuatu yang di luar pengindraan, yaitu mengenai Zat Allah dan sifat-sifat-Nya.
Mereka menganalogikan Allah Swt. dengan manusia dan hal ini mustahil karena tidak ada sesuatu pun yang menyamai Allah Ta’ala. Dalam mengimani Allah, mereka bersandar pada akal semata, padahal seharusnya mereka bersandar pada sesuatu yang terindra yang dapat dijangkau akal. Seharusnya mereka bersandar pada apa yang tercantum dalam al-Quran dan Hadis Mutawatir, serta senjata yang mereka gunakan seharusnya diambil dari al-Quran dan Hadis Mutawatir, bukan dari manusia. Ringkasnya, mereka harus bersandar pada metode al-Quran ketika berdakwah; bersandar pada asas fitrah dan akal; serta pada hal-hal yang terindra saja.
Bagaimana masalah Qadha dan Qadar ini muncul dikalangan ulama kalam? Hal ini jelas dari sambutan mereka terhadap lontaran musuh Islam berupa pemikiran filsafat Yunani dan pertentangan mereka dalam membahas pemikiran yang dilontarkan. Masalah Qadha dan Qadar disebut juga masalah ‘jabr’ dan ‘ikhtiar’ (paksaan dan pilihan) atau masalah ‘kebebasan berkehendak’ yang semuanya bermakna sama, yaitu apakah manusia dipaksa melakukan perbuatannya dan meninggalkan perbuatannya. Semua ini berasal dari pemikiran filsafat.
Golongan Epikurisme (aliran filsafat Yunani) berpendapat adanya kebebasan memilih pada manusia, sedangkan golongan Stoisisme berpendapat adanya paksaan atas manusia dan dia tidak bebas memilih. Kaum Muslim menentang pembahasan mereka dengan bersandar pada sifat adil yang dinisbahkan kepada Allah Swt. Maka itu, munculah kelompok Mu’tazilah sebagai kelompok pertama dari kaum Muslim yang membahas persoalan ini, kemudian disusul oleh kelompok lainnya dalam rangka membantah pendapat Mu’tazilah.
Kelompok ini berpendapat bahwa Allah Swt. suci dari berbuat dzalim, mereka mengakui kebebasan berkehendak pada manusia dan kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan satu perbuatan. Mereka menganalogikan Allah Swt. dengan manusia dan Allah Swt. dipaksa tunduk mengikuti aturan alam ini sebagaimana yang dilakukan oleh para filsuf Yunani. Kemudian, mereka menggali dalil dari al-Quran untuk menguatkan pendapatnya, serta menakwilkan ayat-ayat al-Quran yang tidak sejalan dengan pendapat mereka. Ayat yang mereka jadikan dalil antara lain adalah:
Tidaklah Allah menghendaki kezaliman bagi hamba. (QS al-Mu’minun [23]: 31).
Ayat yang mereka takwilkan, misalnya:
Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, serta penglihatan mereka ditutup. (QS al-Baqarah [2]: 7).
Mereka berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri dengan dalil:
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (QS al-Muddatstsir [74]: 38).
Selain itu, mereka menakwilkan ayat:
Padahal, Allahlah yang telah menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu. (QS ash-Shaaffaat [37]: 96).
Mereka juga berpendapat bahwa apa yang terlahir dari perbuatan manusia seperti rasa sakit karena pukulan atau terpotong oleh pisau adalah termasuk perbuatan manusia karena yang memunculkannya adalah manusia.
Pendapat Mu’tazilah ini membangkitkan perasaan kaum Muslim lain untuk memelihara akidah, mereka menentang dan menolak Mu’tazilah. Datanglah kelompok Jabariyah yang menolak mentah-mentah pendapat tersebut. Mereka katakan bahwa manusia itu dipaksa, tidak punya kehendak dan kekuasaan untuk menciptakan perbuatannya, serta Allah Swt. yang telah menciptakan perbuatan manusia. Mereka menggali dalil dari banyak ayat, di antaranya:
Kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah. (QS at-Takwiir [81]: 29).
Padahal, Allahlah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu. (QS ash-Shaaffaat [37]: 96).
Mereka menakwilkan ayat lain yang bertentangan dengan pendapat mereka. Kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia sesuai dengan kehendak dan keinginan Allah Swt. Ketika mereka merasa pendapatnya bertolak belakang dengan Jabariyah, mereka menafsirkan kata ‘iradah’ dan ‘masyiah’ bahwasanya Allah Swt. menginginkan kekufuran pada orang kafir dan kefasikan pada orang fasik sesuai dengan pilihan mereka tanpa ada paksaan. Mereka menafsirkan makna perbuatan berasal dari Allah Swt. di atas tangan manusia yang maksudnya adalah Allah Swt. telah menciptakan perbuatan, tetapi manusia yang menjalankan perbuatan itu.
Kelompok Ahlus Sunnah ini menjelaskan bahwa manusia mengupayakan perbuatan ketika iradah dan kekuasaan Allah menuju pada manusia. Allah Swt. menciptakan perbuatan itu sesuai iradah-Nya dan pada saat yang sama Allah Swt. menghadapkan iradah itu kepada manusia. Mereka menggali dalil dari ayat yang sama dengan kelompok Jabariyah, yaitu firman Allah Swt. berikut:
Dia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan dia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS al-Baqarah (2) ayat 286).
Ayat ini mereka jadikan dalil bahwa al-kasbu (usaha) itu datang dari hamba, sementara itu dalil tentang penciptaan perbuatan itu dari Allah Swt. adalah ayat yang digunakan oleh kelompok Jabariyah.
Namun, mereka menganggap dirinya berbeda dengan Mu’tazilah dan Jabariyah, padahal sebenarnya pendapat mereka sama persis dengan Jabariyah. Sesungguhnya tidak ada satu dalil pun yang menjelaskan masalah al-kasbu (usaha) hamba, baik dalil akli maupun naqli karena pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini tidak lebih dari upaya mengompromikan pendapat Mu’tazilah dan Jabariyah.
Para ulama Kalam (Mutakallimin) telah membuat topik pembahasan Qadha dan Qadar ini mengenai perbuatan hamba dan apa yang terlahir dari perbuatan itu berupa karakter yang ada pada perbuatan. Mereka mempersoalkan apakah perbuatan yang dilakukan manusia berikut karakter yang ada di dalamnya itu diciptakan oleh Allah Swt. atau oleh manusia? Apakah perbuatan itu terjadi karena keinginan Allah Swt. atau keinginan manusia? Mereka membicarakan semua ini berdasarkan filsafat Yunani. Karena itu, dari sini ditentukan batasan masalah Qadha dan Qadar itu adalah perbuatan hamba dan karakter yang ada dalam suatu benda yang ditimbulkan manusia dari perbuatannya. Qadha berkaitan dengan perbuatan hamba dan qadar berkaitan dengan karakteristik benda.
Setelah pendapat Mu’tazilah mulai surut dan didominasi oleh Ahlus Sunnah, perdebatan lebih condong pada pendapat Ahlus Sunnah. Pendapat Ahlus Sunnah terbagi menjadi dua, sebagian mereka melarang pembahasan Qadha Qadar dengan alasan Hadis Rasul saw.:
Apabila disebut tentang qadar, hendaklah kalian diam.
Sebagian lagi mengatakan ada perbedaan antara Qadha dan Qadar. Qadha adalah hukum global pada sesuatu yang global, sedangkan Qadar adalah hukum parsial pada sesuatu yang parsial.
Pendapat lainnya tentang Qadha itu adalah perencanaan dan Qadar adalah pelaksanaan. Ada pula yang berpendapat Qadar itu takdir, sedangkan Qadha adalah penciptaan. Di antara mereka ada yang menggabungkan Qadha dan Qadar, serta menjadikan Qadar sebagai landasan, sedangkan Qadha adalah bangunan yang ada di atasnya. Di samping itu, sebagian dari mereka ada yang memisahkan kata Qadha dan Qadar. Namun, yang penting adalah pembahasan Qadha dan Qadar ini telah menjadi pembahasan akidah dan menjadi salah satu rukunnya. Dengan demikian, sangat perlu untuk menggunakan metode rasional ketika membahasnya agar sampai pada pendapat yang meyakinkan.
Kembali pada pendapat Mutakallimin tentang makna Qadha dan Qadar, kita dapati mereka telah jauh keluar dari makna bahasa dan makna dari nas syar’i. Kata Qadha dan Qadar mengandung banyak makna. Kata qadha secara bahasa artinya membuat sesuatu, memutuskan perkara, dan melaksanakan perintah. Secara syar’i, qadha bermakna menetapkan, memerintah, mengharuskan, dan memutuskan. Tidak ada qadha yang bermakna hukum Allah pada sesuatu yang global ataupun makna qadar adalah hukum Allah pada sesuatu yang parsial.
Adapun qadar menurut bahasa berarti mengatur, mempersiapkan, membandingkan, mengagungkan, memutuskan, membagi, dan mempersempit. Makna syar’i qadar sama dengan makna bahasanya. Jelas bagi kita apa yang dimaksud dengan kata Qadha dan Qadar yang ada dalam ayat-ayat al-Quran dan Hadis, yaitu takdir dan ilmu Allah Swt., serta tidak ada hubungannya dengan makna yang dimaksud oleh ulama kalam. Adapun ucapan Rasul saw., “Apabila disebut tentang qadar, hendaklah kalian diam”, ini berarti apabila disebut tentang ilmu Allah dan takdir-Nya bagi sesuatu, jangan kalian libatkan diri kalian untuk membahasnya karena itu termasuk sifat dari Allah Swt. yang wajib diimani dan diterima karena Allah Swt. Berfirman:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS asy-Syura [42]: 11).
Demikian pula ucapan Sahabat, “Segala sesuatu menurut qadarnya”, berarti takdir itu dari Allah Swt. dan atas ilmu-Nya. Begitu pula, ucapan Rasul saw., “Katakanlah, Allah telah menetapkan sesuatu dan apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi”, artinya Allah Swt. telah menuliskannya di Lauhul Mahfudz, yaitu ilmu-Nya.
Merujuk pada sumber hukum syariat di masa seluruh Sahabat ra, kita mendapati di masa mereka dan sepanjang abad pertama hijriah, kaum Muslim tidak mengenal pembahasan Qadha dan Qadar sebagai gabungan dua kata. Adapun yang ada adalah kata qadha saja dan qadar saja. Rasul saw. dalam doa qunut berkata, “ Jauhkanlah dariku keburukan yang telah engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkaulah pemberi ketetapan sehingga tidak ada sesuatu yang dapat ditetapkan seseorang terhadap apa yang menjadi ketetapan-Mu, artinya jauhkan dariku keburukan yang telah ditetapkan. Ucapan Rasul,“Katakanlah, Allah telah menetapkan sesuatu dan apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi” ini bermakna takdir dan ilmu Allah. Lebih dari itu, telah ada makna bahasa dan makna syar’i untuk kedua kata ini sehingga bertambah kuatlah bahwa tidak ada hubungan keduanya dengan masalah qadha dan qadar.
Dengan demikian, yang harus diperhatikan adalah membatasi makna dua kata itu pada makna bahasa dan makna syar’i, serta membuang makna yang berasal dari filsuf Yunani dan ulama kalam. Adapun topik atau masalah Qadha dan Qadar sebagai gabungan dua kata adalah tentang perbuatan manusia dan karakteristik benda. Pembahasan masalah ini harus dilandaskan pada asas yang dapat membuahkan hasil yang semestinya, serta bukan pada dugaan dan khayalan.
Ini berarti penting bagi kita untuk memaparkan pandangan seputar filsafat dan mantik khususnya karena tidak satu pun nas Syar’i yang mengungkapkan masalah qadha dan qadar sebagai rahasia Allah. Masalah qadha dan qadar dapat diindra sehingga harus dibahas dan diberikan pandangan akal yang berdasarkan fakta karena hal ini berkaitan dengan keimanan terhadap Allah dan menjadi bagian dari pembahasan akidah.
Ketika mendalami masalah ini, tampak jelas yang menjadi dasar pembahasannya adalah pahala dan siksa atas perbuatan manusia, tidak ada yang lain. Hal ini akan segera tampak dalam penjelasan tiga bab selanjutnya.
Diskusi
Tanya: Apa yang dimaksud dengan benturan keras yang terjadi antara kaum Muslim dengan penganut agama lain yang menjadi musuh mereka?
Jawab: Perlawanan terhadap kaum Muslim dan negara mereka dengan menggunakan senjata, seperti halnya yang dilakukan oleh sekelompok aliran Syi’ah ataupun yang lainnya. Mereka memberi pengaruh kepada kaum Muslim dengan pemikiran-pemikiran filsafat yang jauh dari Islam. Adapun kelompok Khawarij mereka adalah sekelompok Muslim dan seandainya permusuhan mereka tidak beralih pada kontak senjata terhadap negara, niscaya pemikiran mereka tetap hidup di tengah kaum Muslim. Kisah mereka terhenti di masa kerajaan ‘Amman.
Tanya: Dalam al-Quran, Allah Swt. berfirman:
Janganlah kalian berdebat dengan Ahlul Kitab selain dengan cara yang lebih baik. (QS al-‘Ankabut [29]: 46).
Lalu, senjata apa yang dipergunakan?
Jawab: Khilafah Islam tidak pernah menggunakan senjata ketika menghadapi perang pendapat, kecuali ketika memerangi kemurtadan dan ketika terjadi kerusakan di muka bumi oleh kekuatan senjata karena hal ini diperintahkan oleh syariat
Tanya: Bagaimana metode al-Quran yang berlandaskan pada fitrah dan akal dalam menyikapi suatu fakta yang terindra?
Jawab: Fitrah manusia telah mengakui adanya Pencipta. Al-Quran telah menyeru dan memberi isyarat pada fitrah agar mengimani sesuatu yang diyakini dengan mengaitkannya pada bukti-bukti rasional yang didasarkan pada pemberian jawaban terhadap satu peristiwa yang terindra, ataupun pada makhluk hidup dan benda mati yang diakui semuanya oleh fitrah, bahwa ada Pencipta yang telah menciptakan dan mengatur mereka.
Tanya: Bagaimana perbedaan metode mantik dengan metode al-Quran?
Jawab: Mantik berpegang pada asumsi-asumsi akal semata tanpa memperhatikan fakta yang terindra. Sebagai contoh, bahwasanya perkataan manusia itu adalah sifat bagi manusia, perkataan menjadi makhluk karena manusia adalah makhluk, kemudian lahirlah kesimpulan bahwa al-Quran itu berupa perkataan, jadi al-Quran dianggap makhluk.
Inilah kesimpulan mantik yang tidak disandarkan pada sesuatu yang terindra karena al-Quran telah dipastikan dengan bukti akal di atas sesuatu yang terindra bahwa ia adalah Kalamullah dan menjadi satu dari sekian sifat Allah Swt. Kesimpulan mantik seperti itu harus ditolak karena bertentangan dengan firman Allah Swt.:
Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia. (QS asy-Syura [42]: 11).
Tanya: Apa maksud dari pendapat Epikurisme tentang kebebasan memilih pada manusia dan siapa yang terpengaruh oleh pendapat seperti itu?
Jawab: Artinya adalah manusia bebas untuk memilih dalam melakukan perbuatan atau tidak. Tidak ada sesuatu pun yang menguasai keinginannya saat dia berbuat. Kelompok Mu’tazilah telah terpengaruh oleh pendapat ini.
Tanya: Apa maksud dari pendapat Stoisisme tentang adanya paksaan dan tidak bebas memilih pada manusia, serta siapa yang terpengaruh oleh pendapat ini?
Jawab: Artinya, manusia dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan satu perbuatan, dia tidak memiliki keinginan dan kehendak dalam melakukan perbuatan atau tidak. Manusia diibaratkan bulu yang diembus angin. Kelompok Jabariyah telah terpengaruh oleh pendapat ini.
Tanya: Bagaimana kaum Muslim menyandarkan pendapatnya pada sifat adil Allah Swt. ketika mereka berselisih pendapat dengan ulama kalam dan para filsuf?
Jawab: Mereka mengatakan bahwa Allah Swt. itu adil, serta keadilan-Nya bersifat mutlak tidak pernah berlaku dzalim pada siapa pun. Karena itu, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia bebas memilih dalam melakukan perbuatan atau tidak, lalu manusia memikul tanggung jawab atas perbuatannya. Mu’tazilah menolak pendapat Jabariyah karena bertentangan dengan keadilan Allah Swt. Sementara itu, Jabariyah menakwilkan nas-nas agar sesuai dengan makna adil yang dinisbahkan kepada Allah Swt. sebagai analogi terhadap keadilan manusia.
Tanya: Mengapa ulama Kalam tidak memperhatikan adanya pahala dan siksa, padahal mereka memperhatikan sifat adil pada Allah Swt.?
Jawab: Karena mereka mencari jawaban pada pemikiran filsafat, kemudian mereka berusaha menemukan dalil-dalil syar’i yang mendukung pendapat mereka. Al-Quran tidak dijadikan asas pembahasan, tetapi filsafat Yunani sebagai asasnya. Mereka tidak merujuk pada al-Quran selain mencari legalitas bagi pendapat mereka.
Tanya: Tidakkah perdebatan masalah Qadha dan Qadar ini dapat dianggap sebagai sikap ikut-ikutan terhadap pendapat para filsuf?
Jawab: Untuk mengetahui dasar persoalan ini, pembahasan tentang Qadha dan Qadar jangan dianggap sebagai sikap ikut-ikutan, tetapi untuk menghasilkan kepastian dan agar persoalan ini ditempatkan secara benar. Karena inilah, yang akan menjauhkan Akidah Islam dari bahaya, serta akan membersihkan kaum Muslim dari fitnah yang keji.
Adapun jika pembahasan ini dianggap sebagai penolakan, maka itu benar diliihat dari membantah masalah sebelumnya. Namun, saat kita melihat masalah ini sebagai pembahasan akidah, kita tidak boleh meninggalkannya, tetapi harus memberikan pendapat dan sikap. Hal ini karena akidah adalah asas seluruh pemikiran dan hukum sehingga menjadi wajib untuk mengambil akidah dengan cara yang benar. Perdebatan ini yang bisa mewujudkan kewajiban memelihara akidah karena, “Tidak sempurnanya suatu kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib”.
Tanya: Dari mana kita mendapat gambaran bahwa persoalan Qadha dan Qadar bersifat rasional dengan faktanya yang terindra?
Jawab: Dalam hubungan ini karena dasar pembahasan Qadha dan Qadar dikaitkan dengan perbuatan manusia dan karakteristik benda yang faktanya terindra, serta dikaitkan pula dengan pahala dan siksa yang terkait dengan perbuatan manusia yang juga merupakan sesuatu yang dapat diindra.
Pemaparan 1
Apabila kita memperhatikan sejumlah ayat dalam al-Quran yang dijadikan dalil masalah Qadha dan Qadar, kebanyakan dijadikan orang sebagai dasar bahwa manusia itu dipaksa oleh keinginan dan kehendak Allah untuk melakukan perbuatan. Di samping itu, Allahlah yang menciptakan perbuatan manusia. Mereka tidak hanya mencukupkan dengan apa yang ditunjukkan oleh ayat tentang ajal di tangan Allah Swt., seperti ayat berikut:
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang tertentu waktunya. (QS Ali ‘Imran [3]: 145).
Tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS al-A‘raf [7]: 34).
Namun, mereka menggunakan dalil ayat lain mengenai paksaan atas perbuatan manusia, misalnya ayat berikut:
Tidak ada satu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS al-Hadid [57]: 22).
Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami dan hanyalah kepada Allah orang-orang beriman harus bertawakal.” (QS at-Taubah [9]: 51).
Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya seberat zarrah pun yang ada di langit dan di bumi, serta tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, selain tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh). (QS Saba’ [34]: 3).
Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allahlah kami kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. (QS al-An‘am [6]: 60).
Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini adalah dari sisi Allah,” dan kalau mereka ditimpa satu bencana, mereka mengatakan, “Ini datangnya dari sisi kamu (Muhammad).” Katakanlah, “Semuanya datang dari sisi Allah.” Maka itu, mengapa mereka (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun. (QS an-Nisa’ [4]: 28).
Padahal Allahlah yang telah menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu. (QS ash-Shaffat [37]: 96).
Mereka berusaha memperkuat pendapat dengan hadis-hadis seperti sabda Rasul saw.
Ruhul Qudus (Jibril as) telah berbisik padaku, ‘Tidak akan pernah mati seseorang hingga dipenuhi rezeki, ajal, dan apa yang telah ditakdirkan baginya.
Dengan nas-nas tersebut kelompok Jabariyah menggali dalil bahwa Allah Swt. yang telah menciptakan hamba dan apa yang dilakukannya. Manusia dipaksa dalam perbuatannya dan tidak diberi pilihan. Berbeda dengan Jabariyah, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia yang telah menciptakan perbuatannya dan tidak ada satu pun yang mencampuri keinginannya. Dengan demikian, manusia memikul tanggung jawab dan perhitungan atas perbuatannya. Di antara dua pendapat yang bertolak belakang ini muncul pendapat ketiga yang datang dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menjelaskan bahwa manusia mempunyai ‘kasb ikhtiari’ (bagian yang diupayakan) dalam perbuatannya dan dia akan dihisab atas hal itu.
Sejauh mana kedetailan dan kebenaran masalah Qadha dan Qadar menurut pandangan Ahlus Sunnah? Untuk itu kita perlu mengetahui apa yang menjadi dasar dalam pembahasan masalah ini, yaitu sebagai berikut.
Apakah manusia yang telah menciptakan perbuatannya ataukah Allah? Apakah Allah mengetahui bahwa manusia akan melakukan satu perbuatan dan apakah ilmu Allah meliputi hal itu? Apakah perbuatan manusia bergantung pada iradah Allah dan iradah itu mengharuskan adanya perbuatan tadi? Apakah perbuatan manusia itu telah dituliskan pada Lauhul Mahfuzh dan tulisan tersebut mengikat manusia untuk melakukan perbuatannya?
Ringkasnya, apakah asas pembahasan Qadha dan Qadar itu adalah qudrah (kekuasaan) Allah Swt. untuk menciptakan manusia beserta perbuatannya, ataukah asasnya adalah ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, ataukah iradah Allah yang berhubungan dengan semua yang ada, serta apakah asasnya itu Lauhul Mahfuzh yang dituliskan segala sesuatu?
Saat kita mendalami masalah ini tampak dengan jelas bahwa asas pembahasan bukanlah semua yang telah disebutkan di atas. Semestinya asas itu berkaitan dengan topik pahala dan siksa bagi perbuatan, serta asas ini menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam satu perbuatan. Artinya, apakah manusia itu terikat atau bebas dalam melakukan perbuatan, yang baik ataupun buruk, serta apakah manusia mempunyai pilihan dalam melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan, ataukah dia dipaksa dalam hal ini?
Sekarang kita akan membahas peranan manusia dan kaitannya dengan perbuatan yang berasal darinya atau yang menimpanya untuk melihat sejauh mana tanggung jawab manusia terhadap perbuatan yang dilakukannya dan dia menanggung hisab atas perbuatannya itu. Kita menemukan ada dua jenis perbuatan, yaitu perbuatan yang dilakukan karena pilihan manusia, serta perbuatan yang terjadi dari manusia dan yang menimpa manusia tanpa ada pilihan.
Perbuatan yang dilakukan dengan pilihan manusia adalah sejumlah perbuatan yang manusia menjadi pengendalinya dan dia berbuat sesuai dengan keinginannya atau ada peran manusia yang sempurna di dalamnya. Sama saja apakah perbuatan itu sesuai dengan Syariat Allah Swt. atau syariat lainnya. Jenis perbuatan ini terbagi dua sebagai berikut.
Pertama, perbuatan yang dilakukan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya secara langsung. Seperti kebutuhan naluri beragama dipenuhi manusia dengan melakukan shalat; naluri baqa’ dipenuhi dengan memiliki harta; naluri seksual dipenuhinya dengan melakukan hubungan seksual; serta rasa laparnya dipenuhi dengan makan; dan lain-lain.
Kedua, perbuatan yang dilakukan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya secara tidak langsung. Yaitu, ketika manusia membuat dan mengadopsi syariat tertentu yang mengatur cara pemenuhan kebutuhannya. Apakah syariat ini dibuat oleh akal dan pemikirannya atau diadopsi dari syariat yang sudah ada yaitu Syariat Allah Swt.
Pada setiap perbuatan itu kita menemukan bahwa manusia melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatannya kapan saja diinginkan, tidak ada campur tangan dari luar terhadap keinginannya itu ketika dia melakukannya atau tidak.
Adapun perbuatan yang terjadi tanpa ada pilihan manusia adalah sejumlah perbuatan yang tidak dikendalikan dan dikuasai olehnya. Tidak ada kehendak manusia ketika perbuatan itu terjadi dan manusia tidak kuasa untuk menolaknya. Perbuatan ini terbagi dua sebagai berikut.
Pertama, perbuatan yang termasuk Nizhâm al-Wujûd yang ada pada alam semesta, manusia, dan kehidupan. Seseorang hidup dan beraktivitas di alam ini mengikuti aturan yang telah ditentukan. Gaya tarik bumi (gravitasi) geraknya juga ditentukan. Contoh lain pada manusia, kemampuan usahanya untuk memenuhi kebutuhan telah ditentukan, perkembangan dan pertumbuhannya juga telah ditentukan. Perbuatan yang termasuk Nizhâm al-Wujûd ini terjadi tanpa ada upaya dan keinginan dari manusia, dia dipaksa untuk menerimanya tanpa ada pilihan. Manusia tidak bisa menolak gravitasi atau terbang di udara tanpa menggunakan alat, dia tidak bisa untuk mencampuri kedatangannya ke dunia dan kepergiannya nanti, serta dia juga tidak bisa menentukan bentuk tubuh ataupun warna kulitnya. Sebagai makhluk, manusia tidak punya pengaruh sedikit pun dalam semua itu. Allahlah yang telah menciptakan Nizhâm al-Wujûd, dan dengan hal itu Dia mengatur alam ini selamanya.
Kedua, perbuatan yang tidak termasuk Nizhâm al-Wujûd, tetapi berasal dari manusia, dengan tanpa keinginan dan pilihannya. Contohnya, ketika seseorang bermaksud menembak seekor burung, tetapi salah sasaran dan mengenai orang lain. Contoh lain, seseorang yang tidur di atas menara, kemudian jatuh dan menimpa orang lain hingga meninggal. Dari sisi terjadinya perbuatan itu, tanpa ada kehendak dari manusia. Adapun perbuatan yang menimpa manusia dan dia tidak kuasa untuk menolaknya contohnya adalah orang yang terbunuh oleh si penembak burung dan orang yang berada di bawah menara.
Setelah kita memperhatikan dua jenis perbuatan ini, nyatalah bahwa manusia berada di bawah penguasaan perbuatan itu. Selain itu, manusia tidak punya kehendak dan keinginan dalam menciptakan perbuatan yang termasuk dalam Nizhâm al-Wujûd atau dalam perbuatan yang tidak kuasa dia menolaknya, yaitu selain yang termasuk dalam Nizhâm al-Wujûd. Kedua macam perbuatan inilah, yang dinamakan Qadha. Karena itu, Allah Swt. sajalah yang menetapkannya, yaitu memerintahkan terjadinya perbuatan itu tanpa campur tangan manusia. Dalam lingkup perbuatan seperti ini, seorang hamba tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan yang menimpanya, baik bermanfaat atau tidak, buruk atau baik, ataukah perbuatan itu menurut kemampuan akalnya dirasakan baik atau buruk. Manusia hanya diminta untuk menerima dan mengimani bahwa semua itu berasal dari Allah Swt. selama manusia mengimani Allah sebagai Khalik dan Pengatur.
Diskusi
Tanya: Apakah kematian dan ajal termasuk pembahasan Qadha dan Qadar, padahal itu bukan perbuatan manusia?
Jawab: Ya, benar. Maut dan ajal merupakan perbuatan nyata yang menimpa manusia dan harus ada penentuan sejauh mana tanggung jawab manusia terhadapnya, dan hal ini mendukung masalah Qadha dan Qadar.
Tanya: Apakah tulisan yang tercantum dalam ayat-ayat yang mulia itu termasuk dalam masalah Qadha dan Qadar, padahal itu semua dinisbahkan kepada Allah Swt?
Jawab: Ya, benar. Ayat-ayat itu berkenaan dengan perbuatan yang berasal dari manusia dan perbuatan yang menimpa manusia.
Tanya: Bagaimana ilmu Allah Swt. bisa masuk dalam pembahasan Qadha dan Qadar?
Jawab: Ilmu Allah Swt. meliputi segala sesuatu, baik perbuatan maupun benda, sebelum adanya dan sesudahnya, ini termasuk hubungan perbuatan manusia dengan Allah. Karena itu, perlu ada pengetahuan tentang sejauh mana pengaruh ilmu ini terhadap perbuatan manusia untuk menentukan tanggung jawab manusia terhadapnya.
Tanya: Apa makna ayat yang mengatakan bahwa kebaikan dan keburukan yang menimpa manusia berasal dari sisi Allah Swt?
Jawab: Artinya, Allah Swt. itu Pencipta dan Pengatur yang berkuasa atas segalanya. Kekuasan Allah Swt. itu mutlak dan Dia menciptakan manusia dengan bentuk seperti itu, kemudian mengatur dan memberinya aturan. Seandainya terjadi suatu perbuatan, manusia akan menafsirkannya dengan baik atau buruk menurut apa yang membawa manfaat atau mudharat kepadanya. Sesungguhnya perbuatan tersebut berasal dari Allah, di samping itu merupakan qadha yang manusia tidak punya peranan dan keinginan untuk membuatnya, serta tidak kuasa untuk menolaknya.
Tanya: Kesalahan apa yang ada pada pendapat kelompok Jabariyah, Mu’tazilah, dan Ahlus Sunnah, padahal mereka berusaha menentukan hubungan manusia dengan perbuatannya dan tanggung jawab manusia terhadap perbuatannya?
Jawab: Kesalahannya adalah mereka berhenti pada topik kekuasaan Allah dalam menciptakan, ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu dan ketentuan-Nya yang tercatat di Lauhul Mahfuzh, serta adanya iradah dan kehendak Allah yang dikaitkan dengan perbuatan hamba. Mereka membatasi persoalan perbuatan manusia dalam hubungannya dengan bagaimana manusia mewujudkan perbuatan itu dan bagaimana dia dapat menolaknya ketika perbuatan itu terjadi.
Mereka tidak memperhatikan adanya hubungan perbuatan manusia dengan pahala dan siksa. Jika mereka memperhatikan hal itu dan memasukkannya dalam cakupan keimanan, niscaya Jabariyah tidak akan punya pendapat seperti itu. Ringkasnya, Allah Swt. tidak berlaku adil apabila Dia membagi manusia secara paksa, ada yang masuk surga dan ada yang ke neraka. Sehubungan dengan ini manusia menurut mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatannya.
Begitupun Mu’tazilah tidak akan berpendapat seperti itu, yang intinya adalah mereka telah menghilangkan dan mengingkari banyak nas syariat yang menetapkan bahwa manusia tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya dan perbuatan yang menimpanya. Pada dasarnya manusia tidak bisa mencegah ada atau tidaknya perbuatan tersebut.
Demikian pula Ahlus Sunnah tidak akan berpendapat seperti yang mereka katakan, yang intinya adalah mereka memperhatikan pendapat-pendapat dari dua kelompok sebelumnya, kemudian mereka menolaknya. Namun, penolakannya tidak menggunakan pendapat yang berbeda ataupun dalil, tetapi menggabungkan pendapat Mu’tazilah dan Jabariyah. Sementara itu, yang wajib bagi mereka adalah memberi batasan dasar persoalan Qadha dan Qadar sebagai patokan.
Tanya: Bukankah asas masalah yang diajukan oleh ketiga kelompok itu adalah tanggung jawab manusia terhadap perbuatan-perbuatannya?
Jawab: Asas masalah yang dibicarakan ketiga kelompok ini adalah tanggung jawab manusia dalam menciptakan dan mengadakan perbuatan bukan pahala dan siksa atas perbuatan. Seandainya mereka memperhatikan asas ini, niscaya mereka tidak berpendapat demikian.
Tanya: Mereka mengatakan akan ada perhitungan dan pertanggung jawaban manusia saat menciptakan perbuatan, bukankah ini berarti ada pahala dan siksa?
Jawab: Kita kesampingkan dulu pendapat Jabariyah karena mereka tidak mengenal adanya perhitungan, selama manusia dalam keadaan dipaksa untuk melakukan perbuatan dan tidak punya iradah. Kita lihat pendapat dua kelompok lainnya, mereka mengisyaratkan adanya perhitungan, namun tidak dijadikan asas pembahasan masalah ini. Asas yang mereka buat adalah tanggung jawab manusia dalam melakukan atau tidak melakukan perbuatan. Jadi, isyarat adanya perhitungan merupakan kesimpulan saja, bukan menjadi asas masalah.
Tanya: Apa perbedaan antara perbuatan yang dilakukan manusia karena keinginannya dengan perbuatan yang manusia hanya terlibat di dalamnya?
Jawab: Perbuatan yang dilakukan sendiri oleh manusia adalah perbuatan yang murni sesuai dengan kehendak dan pilihannya. Adapun perbuatan yang manusia hanya terlibat di dalamnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh yang lain. Manusia tidak turut campur tangan dalam pelaksanaannya, tetapi terjadi keinginan yang sama antara dia dengan yang lain untuk melakukan perbuatan itu.
Tanya: Mengapa ada pendapat yang mengatakan bahwa ada campur tangan dalam keinginan manusia?
Jawab: Orang yang berpendapat seperti itu mengatakan atau menggambarkan adanya campur tangan faktor luar dalam keinginan manusia karena posisi manusia sebagai makhluk, seperti yang dikatakan kelompok Jabariyah.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan Nizhâm al-Wujûd?
Jawab: Nizhâm al-Wujûd adalah aturan yang dibuat Pencipta untuk makhluk-makhluknya, yaitu untuk alam semesta, manusia, dan kehidupan. Allah Swt. menciptakan mereka dan membuatkan aturan yang harus dijalankan tanpa ada penyimpangan. Contohnya, semua bintang berjalan pada orbitnya masing-masing yang telah ditentukan mengikuti hukum alam.
Selain itu, misalnya setiap benda yang ada di alam ini memiliki karakteristik yang khas dan berbeda satu dengan yang lain. Begitu pula manusia diciptakan Allah Swt. dengan bentuk fisik dan anggota tubuhnya yang masing-masing telah diberi aturan tertentu sesuai dengan hukum alam. Allah Swt. menciptakan kehidupan pada makhluk dengan memberinya ruh, serta hidup matinya makhluk bergantung pada adanya ruh ini.
Allah Swt. telah menentukan pengaturan pada makhluk sehingga tumbuh sempurna dan menjadi matang selama ruh tetap ada padanya. Makhluk ini akan mati dan hancur karena kepergian ruh, sebagaimana dia dapat bergerak dengan batas yang telah ditentukan selama masih hidup. Itulah makna Wujud (yang ada) yaitu, alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta seperti itulah Nidzam (aturan) yang ditentukan baginya.
Tanya: Mengapa saat menjelaskan persoalan ini, pembicaran dibatasi pada manusia saja dan melewatkan makhluk hidup lainnya?
Jawab: Karena manusia adalah makhluk hidup yang paling sempurna, sebagaimana firman Allah Swt.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS at-Tin [95]: 4).
Ayat ini menggambarkan realitas yang ada.
Tanya: Apabila mungkin bagi manusia untuk melawan gaya gravitasi, kemudian dia dapat terbang di angkasa dengan pesawat, mengapa kita menganggap Nizhâm al-Wujûd pada sisi ini sebagai sesuatu yang mengikat?
Jawab: Maksud dari ucapan bahwa manusia itu diatur dan dipaksa atas perbuatannya dalam lingkaran Nizhâm al-Wujûd adalah bahwa manusia dengan tubuhnya dipaksa untuk berjalan di atas bumi dan tidak bisa terbang, namun jika dia terbang menggunakan pesawat, maka dia telah mengambil sisi lain yang bukan masuk dalam Nizhâm al-Wujûd. Akan tetapi, termasuk perbuatan yang dilakukan manusia di alam ini, yaitu terbang bukan dengan tubuhnya sendiri, melainkan dengan pesawat. Dia melakukan hal itu tanpa paksaan, tetapi karena keinginan yang ada pada dirinya.
Tanya: Apa maksud dari tidak adanya peranan manusia pada saat kedatangannya di dunia (lahir) dan kepergiannya (wafat)?
Jawab: Kelahiran dan kematian adalah aktivitas yang tidak ada campur tangan manusia di dalamnya. Keduanya adalah Qadha yang berlaku baginya.
Tanya: Mengapa perintah Allah Swt. dalam mewujudkan perbuatan dibatasi pada Qadha saja, padahal setiap perbuatan itu tidak keluar dari perintah Allah Swt?
Jawab: Perbuatan Qadha diberi nama demikian karena tidak ada campur tangan dari kehendak atau keinginan manusia. Adapun perbuatan yang diinginkan manusia terjadi karena peranan manusia dan kehendaknya, dalam hal ini tidak ada paksaan dari Allah Swt.
Tanya: Apakah itu berarti adanya atau terjadinya perbuatan baik dan buruk itu dari Allah Swt?
Jawab: Benar. Selama penafsiran manusia terhadap baik dan buruk itu sesuai kondisi yang menimpanya berupa manfaat dan mudharat. Sementara itu, apakah penafsiran ini benar atau salah, maka hal itu mengikuti Allah Swt. yang telah mengadakan dan menjadikan perbuatan ketika perbuatan itu termasuk ke dalam Qadha dan Qadar. Berarti pula Allah Swt. mengizinkan hal itu tanpa merampas iradah manusia ketika perbuatan itu termasuk yang dikuasai manusia. Allah Swt. Berfirman:
Karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS an-Nisa’ [4]: 19).
Tanya: Apa makna iman terhadap Qadha?
Jawab: Seorang Muslim harus mengimani semua perbuatan yang menimpanya bahwa itu semua dari Allah Swt. Dalam menjalaninya, dia bersabar dan mengintrospeksi diri terhadap manfaat dan mudharat yang menimpanya sebagai ketaatan terhadap firman Allah Swt.:
Janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. (QS Fathir [35]: 8).
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang telah diberikan-Nya kepadamu. (QS al-Hadid [57]: 23).
Tanya: Mengapa perbuatan yang tidak dikuasai manusia dibagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang termasuk Nizhâm al-Wujûd dan bukan. Padahal, semua perbuatan manusia itu terjadi di dunia?
Jawab: Memang benar, perbuatan manusia itu semuanya terjadi di dunia, tetapi hal itu sesuai dengan tabiatnya masing-masing. Karena itu, harus ada pembagian karena beberapa perbuatan yang dikehendaki Allah Swt., seperti perbuatan yang termasuk Nizhâm al-Wujûd berbeda dengan perbuatan yang tidak tunduk terhadap Nizhâm al-Wujûd.
Tanya: Mungkinkah menjelaskan benang merah yang menghubungkan antara iradah Allah dan Qadha?
Jawab: Iradah Allah Swt. berarti tidak ada suatu benda pun di dunia ini dan juga tidak ada satu perbuatan pun yang terjadi yang jauh atau dekat bertentangan dengan keinginan dan kehendak-Nya. Hal ini berarti bahwa Allah Swt. berkuasa untuk campur tangan dalam sekejap, dalam mencegah ataupun mewujudkan suatu benda dan perbuatan.
Adapun Qadha adalah peranan atau campur tangan yang nyata dari keinginan dan kehendak Allah Swt., ketika Allah Swt. mengadakan suatu benda dan perbuatan. Dari sini, jelas benang merah antara iradah dan qadha Allah Swt. adalah adanya sifat iradah pada-Nya. Dia tidak akan berhenti untuk campur tangan dalam mewujudkan satu benda dan juga perbuatan.
Pemaparan 2
Pembahasan pada masalah Qadha, yaitu semua perbuatan yang termasuk Nizhâm al-Wujûd atau bukan, yang terjadi dan menimpa manusia tanpa ada peranan manusia di dalamnya, serta tidak ada keinginan manusia untuk membuat dan menolaknya. Dalam perbuatan seperti ini manusialah yang dikendalikan.
Sekarang kita akan membahas tentang Qadar. Saat kita memperhatikan perbuatan yang telah diputuskan oleh Allah Swt. atau perbuatan yang mengendalikan dan menguasai manusia, kita melihat bahwa semuanya terjadi dari benda ke benda. Kita memahami bahwa perbuatan itu bersifat fisik, jadi termasuk materi atau benda. Begitu pula aturan umum yang telah Allah Swt. ciptakan pada makhluk untuk mengokohkan keberadaan benda dan perbuatan adalah materi pula. Jika demikian, apa sebenarnya benda atau materi itu?
Dengan pengamatan yang dalam, kita dapati setiap benda mempunyai ciri khas tertentu (spesifik) yang berbeda di antara benda-benda. Ciri khas inilah yang mendorong benda untuk mewujudkan perbuatan. Dalam hal ini Allahlah yang telah menciptakan Nizhâm al-Wujûd dan ciri khas yang ada pada setiap benda. Ciri khas ini dinamakan khasiat. Misalnya, khasiat membakar terdapat pada api, khasiat terbakar pada kayu, serta khasiat memotong pada pisau dan terpotong pada daging. Semuanya diciptakan Allah Swt. sesuai dengan Nizhâm al-Wujûd dan mengikat benda tanpa bisa menyimpang darinya.
Seandainya terjadi penyimpangan dan keluar dari kebiasaannya, pasti ada campur tangan Pencipta yang Maha Mengatur. Hal ini seperti yang terjadi pada mukjizat para nabi. Api yang tidak bisa membakar Nabi Ibrahim as merupakan salah satu contohnya. Jika tidak ada campur tangan Allah Swt., tidak akan terjadi hal yang demikian. Allah Swt. Berfirman:
Wahai api dinginlah, dan keselamatan bagi Ibrahim. (QS al-Anbiya’ [21]: 69).
Begitu pula dengan kisah Nabi Musa as dengan mukjizat tongkatnya yang membelah laut Merah hingga air itu terbelah dan seolah-olah membeku, padahal khasiat air adalah mengalir:
Lalu, Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka itu, terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan seperti gunung yang besar. (QS asy-Syu‘ara’ [26]: 63).
Hal ini tidak ada bedanya dengan khasiat yang Allah Swt. ciptakan pada manusia. Allah Swt. menciptakan otak, naluri, dan kebutuhan jasmani pada manusia dan masing-masing diberi khasiat tertentu. Khasiat ini senantiasa terikat dengan materinya sesuai dengan Nizhâm al-Wujûd. Misalnya, otak manusia punya khasiat untuk berpikir, naluri seks punya khasiat kecenderungan seksual, dan naluri baqa’ punya khasiat cinta materi. Selain itu, naluri beragama diberi khasiat kecenderungan untuk menyembah dan mengagungkan sesuatu.
Setiap khasiat penampakannya berbeda-beda karena punya peranan yang berbeda-beda. Semua khasiat ini yang menciptakan adalah Allah Swt., serta Dialah yang menentukan keistimewaannya masing-masing, tidak ada peranan manusia di dalamnya. Adapun yang diperintahkan kepada seorang Muslim terhadap hal ini adalah membenarkan dan meyakini dengan penuh keikhlasan bahwa hanya Allah Swt. semata yang telah menentukan khasiat pada segala sesuatu tanpa ada campur tangan manusia.
Sejauh mana khasiat ini mengharuskan manusia untuk melakukan satu perbuatan? Dalam arti, apakah merupakan tabiat khasiat memaksa manusia melakukan perbuatan tertentu sehingga manusia itu dikendalikan olehnya dan tidak bisa memilih?
Allah Swt. Berfirman:
Jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS asy-Syams [91]: 7-10).
Saat membaca firman Allah di atas kita memahami bahwa al-Khaliq al-Mudabbir, Allah Swt. ketika menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya. Allah Swt. mengilhamkan—yaitu Allah Swt. ciptakan kekuasaan untuk melakukan—kefasikan dan ketakwaan kepada manusia.
Allah Swt. dengan pengaturannya yang bijak menciptakan khasiat dalam naluri beragama yang mampu mendorong manusia untuk berbuat kefasikan dan kemaksiatan terhadap-Nya. Kemudian, manusia melakukan perbuatan buruk atau manusia terdorong berbuat takwa dan menaati aturan Allah Swt. Allah Swt. tidak memberi ilham pada jiwa manusia dengan mencabut kemampuan memilih antara yang baik dan buruk, namun Allah menyimpannya dalam naluri. Oleh karena itu, kita dapati manusia memikul tanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Dia akan menjadi orang yang beruntung dengan melakukan perbuatan baik dan akan merugi dengan perbuatan buruknya.
Di dalam khasiat yang telah Allah Swt. ciptakan, terdapat potensi (qabiliah) untuk mendorong manusia melakukan perbuatan sesuai dengan perintah Allah Swt. atau melanggar perintah-Nya tanpa ada paksaan. Khasiat hanya mendorong manusia untuk menggunakan sesuatu tempat khasiat berada dan tidak mengharuskan manusia berbuat apa pun Peranan khasiat dalam hal ini terbatas pada mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhannya, tidak lebih dari itu.
Benar, bahwa khasiat itu selalu melekat di dalam materi, baik berupa benda, naluri, maupun kebutuhan jasmani manusia, dan manusia tidak akan bisa lepas darinya. Pengaruh khasiat tampak jelas pada hasil perbuatan manusia. Namun, khasiat selamanya tetap tunduk di tangan manusia untuk digunakan setiap saat diinginkan. Manusialah yang mewujudkan perbuatan itu dan dia juga yang menahan untuk tidak melakukannya.
Dalam naluri seks terdapat kecenderungan seksual, naluri tersebut tidak memaksa manusia untuk memenuhinya hanya dengan satu cara. Sehubungan hal ini dalam kecenderungan itu ada potensi untuk memenuhi kebutuhan naluri dengan beberapa cara. Artinya ada potensi yang memberi keleluasaan kepada manusia untuk menggunakan berbagai pilihan.
Begitulah kecenderungan yang senantiasa menyertai naluri, tetapi tidak mendorong manusia memenuhi kebutuhannya dan tidak memaksa pemilik naluri untuk memenuhi sesuai perintah Allah Swt. atau tidak. Manusia mempunyai naluri sebagai potensi hidupnya disertai dengan khasiat yang punya potensi untuk mendorong. Jadi, manusialah yang memunculkan perbuatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan baik ataupun buruk.
Bagaimana perbuatan ini mengambil cara yang baik dan buruk saat memenuhi kebutuhan naluri? Sesungguhnya Allah Swt. telah menciptakan khasiat kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan naluri, serta pada kecenderungan ini Allah Swt. ciptakan pula potensi untuk memenuhinya dengan cara yang baik atau buruk. Allah Swt. menciptakan akal manusia dengan khasiat membedakan dan memahami sesuatu. Allah Swt. Berfirman:
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS al-Balad [90]: 10).
Maksudnya, akal memiliki kemampuan memahami jalan yang baik dan yang buruk. Saat naluri dan kebutuhan jasmani menuntut pemenuhan, akal akan membimbingnya untuk membedakan antara baik dan buruk, serta mengatur dan mengarahkan pemenuhan.
Apabila si pemilik naluri ini mengambil Akidah Islam dan akidah ini memiliki standar halal dan haram, maka dia akan memenuhi kebutuhannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah Swt. Jika dia mengambil akidah lain, maka pemenuhannya sesuai dengan pandangan akidah tersebut. Pemilik akallah yang mewujudkan perbuatan untuk memenuhi kebutuhan dengan sesuatu yang halal atau haram sesuai dengan pilihan akalnya.
Perbuatan mengambil apa yang diyakini oleh akal adalah perbuatan yang dilakukan manusia karena keinginan dan pilihannya, kemudian dia jadikan apa yang diyakininya itu sebagai pengatur dan pengarah ketika memenuhi kebutuhan. Kemampuan membedakan yang baik dan buruk ini adalah khasiat akal yang telah ditentukan baginya. Akan tetapi, perbuatan baik dan buruk ditentukan oleh si pemilik akal. Khasiat hanyalah penolong baginya untuk mengetahui jalan dan pilihan yang tersedia banyak di hadapannya.
Apa peranan perasaan pada pengaturan dan pengarahan naluri? Perasaan itu adalah kecenderungan (tendensi) dan pendorong (motivasi). Sesuai dengan fitrahnya, perasaan diarahkan oleh Pencipta agar manusia menggabungkannya dengan keyakinan yang ada pada akal. Pada saat manusia memenuhi tuntutan fitrah, dia membentuk perasaannya dengan akidah yang sahih—maka saat itu terbentuk perasaan Islami—atau dengan akidah selain Islam. Kemudian, perasaan ini akan mengkristal dan membentuk jiwa pemiliknya. Dengan demikian, seseorang mempunyai sifat tertentu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh ikatan antara pemahaman yang diyakininya dengan kecenderungan naluri dan jasmaninya.
Diskusi
Tanya: Seperti apa pemahaman tentang Qadha?
Jawab: Qadha kata yang disertai dengan Qadar ataupun terpisah, dalam pembahasan Akidah Islam saat ini adalah sesuatu yang berbeda dengan makna bahasa dan makna syar’inya. Kata Qadha mempunyai arti perbuatan yang terjadi dari manusia ataupun yang menimpa manusia tanpa kehendak dan pilihannya, baik perbuatan itu termasuk dalam Nizhâm al-Wujûd maupun tidak.
Tanya: Apa maksud bahwa manusia tidak mampu menghindari Qadha?
Jawab: Ketika perbuatan Qadha menghampiri dan menimpa manusia, manusia tidak kuasa untuk menolaknya.
Tanya: Adakah perbedaan antara mempunyai kekuasaan dan mempunyai pilihan untuk menolak satu perbuatan?
Jawab: Ada, kekuasaan untuk menolak ini diartikan bahwa manusia yang tertimpa satu perbuatan mampu menolaknya. Sementara itu, mempunyai pilihan untuk menolak berarti ada peluang memilih untuk menolak atau tidak. Karena itu, sesungguhnya manusia mampu untuk menolaknya, tetapi dia tidak mempunyai kekuasaan untuk menolaknya. Ini adalah dua hal yang berbeda.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan kata ‘materi’ ketika dikaitkan dengan suatu benda dalam pembahasan ini?
Jawab: Materi adalah seluruh potensi, baik yang tampak dan bisa diindra, serta dirasakan maupun yang tersembunyi, tetapi kita mengetahui adanya dari dampak yang ditimbulkannya, seperti angin, gaya magnetis, dan uap.
Tanya: Apakah setiap benda hanya mempunyai satu khasiat, dan mungkinkah satu benda mempunyai beberapa khasiat?
Jawab: Mungkin saja satu benda punya beberapa khasiat. Seperti air, khasiatnya mengalir (berbentuk cairan), menguap, dan membeku pada derajatnya masing-masing. Setiap khasiat penampakannya berbeda. Khasiat cair tampak saat air mengalir pelan atau cepat sesuai dengan pusarannya. Hal itu tampak pula saat air bercampur dengan materi lain dan saat air mengalir di celah-celah sempit.
Tanya: Di mana unsur ruhani, jika semua perbuatan manusia itu berupa materi?
Jawab: Aspek ruhani pada perbuatan adalah sesuatu yang lain, serta tabiat perbuatan itu sendiri adalah sesuatu yang lain pula. Perbuatan apa pun yang terjadi antara dua materi di dunia ini adalah berupa materi pula. Saat manusia memperhatikan halal dan haram, maka dia telah memperhatikan aspek ruhani yang ada dalam materi yang merupakan ciptaan Allah Swt.
Allah Swt. memerintahkan agar manusia menggunakan aspek ruhani ini dalam perbuatannya. Inilah yang dinamakan ‘perpaduan materi dengan ruh’ (mazj al-mâdah bi ar-rûh) yang artinya perbuatan itu dikendalikan dan diarahkan oleh aspek ruhani. Perbuatan itu adalah materi, penggunaan aspek ruhani adalah ruh. Jadi, tidak ada yang dinamakan dengan perbuatan ruh, yang ada hanyalah perbuatan (yaitu tabiat perbuatan) yang dipadukan dengan ruh (yaitu keinginan yang kuat untuk memperhatikan aspek ruhani).
Tanya: Selama khasiat tetap ada dalam materi dan tidak akan lepas, mengapa hal tersebut tidak kita namakan dengan Qadar yang bersifat memaksa?
Jawab: Apabila khasiat dikatakan seperti Qadar yang memaksa kita untuk menggunakan suatu materi sesuai dengan khasiatnya, maka itu benar. Namun, tidak ada yang memaksa kita untuk menggunakan khasiat ini pada perbuatan halal atau haram. Akan tetapi, akallah yang membedakan mana yang haram atau halal. Contohnya, ketika kita menggunakan khasiat memotong yang ada pada sebilah pedang untuk perbuatan baik, seperti membunuh musuh atau dalam perbuatan buruk, seperti membunuh orang yang bukan musuh, maka semua itu adalah kehendak kita bukan karena paksaan dari khasiat. Dalam hal ini, kita semata-mata menggunakan sesuatu yang ditetapkan di dalam khasiat.
Tanya: Mengapa tidak kita katakan khasiat yang ada pada naluri dan kebutuhan jasmani adalah Qadar yang bersifat memaksa?
Jawab: Khasiat yang ada pada naluri dan kebutuhan jasmani tidak mengharuskan manusia untuk menggunakannya hanya dengan satu cara saja, namun khasiat ini membiarkan manusia memilih bentuk atau cara penggunaannya. Naluri beragama misalnya, khasiatnya tidak memaksa manusia untuk menyembah sesuatu, tetapi hanya mendorongnya untuk beribadah. Manusialah yang menentukan apa yang akan disembahnya, serta bagaimana caranya berdasarkan pilihannya. Tidak ada paksaan apa pun dalam cara penggunaan khasiat.
Tanya: Apakah di dalam naluri dan kebutuhan jasmani terdapat banyak khasiat atau hanya satu saja?
Jawab: Naluri dan kebutuhan jasmani masing-masing punya banyak khasiat. Naluri beragama, di antara khasiatnya adalah keinginan untuk menyembah, menyucikan, mengagungkan, dan takut pada sesuatu yang diagungkannya. Ini merupakan gabungan dari dua khasiat yaitu takut dan harap. Allah Swt. berfirman:
Sementara itu, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap. (QS as-Sajdah [32]: 16).
Naluri seks dengan khasiat kecenderungan seksual antara laki-laki dan wanita—yang dengan ini muncul pernikahan, serta khasiat perasaan keibuan dan kebapakan yang melahirkan kasih sayang dalam keluarga. Naluri baqa’ (mempertahankan diri), di antara khasiatnya adalah cinta pada diri sendiri ketika manusia akan mempertahankan jiwanya saat menghadapi bahaya dan khasiat suka pada harta—dengan segala jenisnya—yang dengan ini manusia terdorong untuk berusaha mencari harta hingga akhir hayatnya.
Selain itu, khasiat cinta tanah air, penampakannya adalah manusia mencintai akan tanah kelahirannya atau tempat tinggalnya dan akan membela tanah air itu dari musuh yang akan merampasnya. Termasuk naluri baqa’ pula ketika manusia membutuhkan makanan dan minuman untuk mempertahankan dirinya.
Tanya: Mengapa pada pemaparan sebelumnya disebutkan bahwa setiap naluri dan anggota tubuh itu punya satu khasiat?
Jawab: Pemaparan itu berkaitan dengan penyebutan bukan pembatasan. Penyebutan itu digunakan pada khasiat yang paling menonjol dari setiap potensi kehidupan.
Tanya: Apakah benda mati mempunyai banyak khasiat, seperti pada naluri dan kebutuhan jasmani?
Jawab: Benar. Besi misalnya, pada derajat panas tertentu akan membeku dan akan meleleh pada derajat yang lain. Besi hanya bisa dilebur dengan materi tertentu untuk membentuk materi baru yang punya khasiat berbeda dengan sebelumnya.
Tanya: Apakah pada otak manusia hanya ada khasiat berpikir saja?
Jawab: Tidak. Otak bisa berpikir ketika unsur-unsurnya lengkap. Khasiat otak sebagai pusat syaraf pengindraan untuk menerima dan mengarahkan alat indra, perasaan, dan gerak dengan syaraf yang terpisah satu sama lain. Karena itu, apabila unsur-unsur otak tidak berfungsi, maka otak tidak bisa berpikir.
Tanya: Apakah Qadar dalam pembahasan ini punya arti sama dengan makna bahasa dan makna syar‘i-nya?
Jawab: Tidak sama. Qadar di sini berarti khasiat yang ada pada benda hidup dan benda mati yang Allah Swt. ciptakan untuk menjalankan tugasnya masing-masing.
Tanya: Apakah kita bisa membedakan antara ilham dengan hidayah, ataukah keduanya sama?
Jawab: Sudah pasti keduanya berbeda. Ilham yang ada pada jiwa adalah khasiat yang telah Allah Swt. ciptakan agar manusia bisa membedakan antara kefasikan dan ketakwaan atau antara yang baik dan buruk. Tempat untuk membedakan itu adalah pada otak. Memang benar, emosi dan suara hati itu fitrah pada diri manusia, namun fitrah ini tidak bisa memberikan khasiat membedakan (khasiat tamyîz). Ini dihubungkan dengan tamyîz yang ada pada akal.
Dalam kaitannya dengan hidayah, Allah Swt. berfirman:
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS al-Balad [90]:10).
Sungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS al-Insan [76]:3).
Hidayah telah ada pada manusia ketika Allah Swt. menurunkan hidayah ini pada rasul-rasul-Nya dan pada rasul penutup, yaitu Muhammad saw.
Rasul Muhammad saw. menjelaskan pada manusia tentang jalan kebaikan dan keburukan. Jalan kebaikan adalah taat pada perintah Allah Swt. dan larangan-Nya, sedangkan keburukan adalah melanggar perintah dan larangan-Nya. Jadi, hidayah itu sudah diturunkan, sedangkan ilham sesuatu yang disimpan dalam jiwa manusia. Andaikan hidayah belum diturunkan, penggunaan ilham tidak akan berjalan baik. Seandainya tidak ada ilham, tidak mungkin manusia mengetahui hidayah.
Tanya: Apakah dorongan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani terpisah dari khasiat akal saat perbuatan dilakukan?
Jawab: Kadang terpisah kadang tidak. Hal ini mengikuti sejauh mana kecenderungan pada naluri dan kebutuhan jasmani itu dibuat terkait dengan pemikiran, pemahaman, standar, dan aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh akal setelah selesai proses tamyîz dan ada pemahaman sebelumnya. Kemudian, penetapan dan pelaksanaan proses tamyîz bertambah sedikit demi sedikit.
Tanya: Jika demikian, lalu apa maksud ayat berikut:
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaanny.” (QS asy-Syams [91]: 8)?
Jawab: Ilham dalam ayat tersebut termasuk kemampuan yang disimpan oleh Allah Swt. pada jiwa manusia, jadi merupakan khasiat, yaitu kemampuan untuk melakukan amal yang baik dan buruk tanpa ada paksaan.
Tanya: Bagaimana naluri menjalankan fungsinya dalam kehidupan ini?
Jawab: Naluri mendorong pemiliknya untuk memenuhi tuntutan kebutuhannya. Contoh, ketika naluri beragama terangsang dengan pemikiran tentang keagungan Sang Pencipta yang wajib disembah, maka naluri ini cenderung untuk menyembah-Nya dan mendorong si pemiliknya untuk beribadah. Sementara itu, si pemilik naluri ini akan menentukan—dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh akalnya berupa keyakinan—jenis dan bentuk pemenuhannya.
Naluri baqa’ ketika terangsang dengan ancaman, maka dia terdorong untuk mempertahankan dirinya, kemudian mendorong si pemilik naluri untuk waspada dan berikutnya akan diambil sikap sesuai dengan keyakinan yang diakui oleh akalnya. Adapun naluri seksual, ketika terangsang, baik karena kebutuhan seksual maupun karena rasa sayang, serta juga oleh rangsangan gambar atau khayalan, maka dia akan mendorong manusia untuk memenuhinya sesuai dengan keyakinannya.
Tanya: Jika demikian, di mana letak kebaikan dan keburukan, halal dan haram dalam penggunaan naluri?
Jawab: Baik dan halal ada pada saat keimanan campur tangan dalam diri si pemilik naluri. Jika keimanannya dan pemikirannya Islam, seseorang akan mengarahkan pemenuhan kebutuhannya sesuai dengan Islam. Buruk dan haram ada pada saat keimanan seseorang bukan pada Islam atau keimanan terhadap Islamnya lemah, serta tidak punya kekuatan untuk mengatur dan mengarahkan pemenuhan kebutuhan.
Karena itu, keimanan membutuhkan perhatian dan bantuan yang terus menerus supaya tidak lemah dan jatuh. Bagaimana tidak demikian, karena manusia mengatur perilakunya dengan keimanan. Di samping itu, keimanan ini harus senantiasa konsisten. Untuk itu, si pemilik naluri sangat memerlukan perhatian dan bantuan. Jika tidak, maka apalah artinya firman Allah Swt.:
Oleh sebab itu, berikanlah peringatan karena bermanfaat. (QS al-A‘la [87]: 9).
Ini peringatan yang ditujukan pada orang yang melalaikan keimanan.
Selain itu, Allah Swt. berfirman:
Tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (QS adz-Dzariyat [51]: 55).
Ini bagi orang ini telah mengakui kebaikan, namun dia tidak berupaya menambahnya sehingga perlu diberikan peringatan.
Pemaparan 3
Kita telah membahas peranan perasaan dalam memunculkan perbuatan pada manusia, ketika perasaan ini merupakan khasiat yang telah ditentukan dan tidak akan terpisah. Namun, peranan khasiat ini hanya mendorong satu perbuatan dan tidak memaksa manusia untuk memenuhi atau tidak memenuhi dorongan tersebut, dengan cara begini dan begitu. Ada satu hal yang menuntun kita untuk membicarakan batasan tanggung jawab terhadap hal di atas, yaitu apakah tanggung jawab untuk mewujudkan kecenderungan ini ada pada manusia? Ataukah tanggung jawab dan muhasabah ini ada untuk memunculkan perbuatan sebagai jawaban dari kecenderungan itu?
Telah jelas bagi kita bahwa kecenderungan dan eksistensinya yang senantiasa ada pada semua naluri atau kebutuhan jasmani merupakan Qadar. Ini berarti Allah Swt. sajalah yang menciptakannya pada diri manusia dan manusia tidak berperan di dalamnya. Berikutnya, tidak ada hisab dan pertanggungjawaban terhadap adanya kecenderungan ini bagi manusia mana pun karena semua itu berjalan dengan hikmah Allah Swt. semata, yaitu adanya pengaturan dari Pencipta atas makhluk-Nya.
Allah Swt. berfirman:
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. (QS al-Anbiya’ [21]: 23).
Pertanggungjawaban bagi manusia terbatas pada melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan. Allah Swt. berfirman:
Siapa saja mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Siapa saja yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QSurat az-Zalzalah [99]: 7-8).
Ketika Allah Swt. menciptakan naluri, kebutuhan jasmani, dan benda, Allah Swt. tetapkan khasiatnya masing-masing supaya mereka dapat menjalankan peranannya dalam kehidupan ini berdasarkan apa yang telah ditetapkan baginya. Jadi, semuanya tetap sebagai potensi tersimpan yang siap digunakan saat diperlukan.
Ketika Allah Swt. menciptakan manusia, diciptakan pula baginya naluri, kebutuhan jasmani, dan akal yang punya khasiat tamyîz. Akal diberi kemampuan untuk memilih antara mengerjakan satu perbuatan atau tidak. Tidak ada pada diri manusia hal apa pun yang mengharuskan dia melakukan atau meninggalkan perbuatan, tidak ada pada naluri atau kebutuhan jasmani dan juga khasiat.
Dari sinilah, manusia mempunyai pilihan sempurna antara melakukan perbuatan atau menjauhinya. Semua ini karena peranan khasiat akal, yaitu tamyîz yang telah Allah Swt. anugerahkan dan tetapkan pada akal manusia. Selanjutnya, manusia memikul tanggung jawab dan hisab pada saat khasiat itu telah ada. Artinya, Allah Swt. telah mempersiapkan pahala untuk perbuatan baik yang dilakukan manusia karena akalnya telah memilih demikian dalam rangka melaksanakan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya. Begitu pula Allah Swt. telah mempersiapkan siksa untuk perbuatan buruk yang dilakukan manusia karena akalnya memilih hal itu sebagai pengingkaran terhadap perintah-Nya, dan dia memenuhi tuntutan naluri dan kebutuhan jasmani dengan cara yang dilarang Allah Swt.
Setelah jelas bagi kita tentang peranan naluri, kebutuhan jasmani, dan benda dalam memunculkan perbuatan dengan pilihan manusia dalam menggunakan khasiat tamyîz yang dianugerahkan kepadanya, dari sini muncul pertanyaan tentang hubungan semua itu dengan masalah Qadha dan Qadar dari satu sisi, pengaruh ilmu Allah Swt., keinginan, dan kehendak-Nya dari sisi lain, serta apa pengaruhnya pada kehidupan manusia?
Hubungan naluri, kebutuhan jasmani, ataupun benda beserta khasiat yang ada di dalamnya dan juga akal dengan masalah Qadha dan Qadar adalah sebagai satu bagian dalam akidah dan keimanan seorang Muslim. Dalam hubungan ini, Allah Swt. telah menciptakan semuanya dan manusia tidak punya pengaruh dalam penciptaan ini. Dia wajib mengimaninya karena Allah Swt. berfirman:
Dia tidak akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat-Nya, tetapi merekalah yang akan ditanyai. (QS al-Anbiya’ [21]: 23).
Khasiat yang diciptakan pada semua makhluk merupakan Qadar yang tidak ada campur tangan manusia untuk mewujudkannya, namun pengaruhnya tampak dalam penggunaan khasiat ini dengan cara tertentu, yaitu dalam perbuatan. Perbuatan ini ada yang menguasai manusia tanpa ada kehendak manusia untuk mewujudkannya, baik yang termasuk Nizhâm al-Wujûd maupun bukan, dan perbuatan yang dikuasai (dapat dikendalikan) oleh manusia. Jika perbuatan itu menguasai manusia, maka termasuk Qadha. Demikian pula dengan Qadar, yaitu khasiat yang diciptakan pada benda, akal, dan naluri, serta pada kebutuhan jasmani.
Qadha adalah perbuatan-perbuatan yang masuk dalam Nizhâm al-Wujûd atau tidak yang terjadi dari manusia atau menimpa manusia di luar keinginannya. Qadar adalah segala sesuatu yang disediakan di alam ini untuk dipergunakan. Qadha mengharuskan manusia untuk menggunakan khasiat dengan arahan tertentu tanpa keinginan manusia dan tanpa bisa mengharap atau menolaknya. Dengan demikian, manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban dan tidak dihisab selama itu di luar keinginan dan pilihannya.
Adapun saat manusia menggunakan khasiat dengan keinginan dan pilihannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban dan akan dihisab sesuai dengan firman Allah Swt.:
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (QS al-Muddatstsir [74]: 38).
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS ath-Thur [52]:21).
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS al-Baqarah [2]: 286).
Dari uraian di atas, jelas sudah mengenai hubungan masalah Qadha dan Qadar dengan naluri, dan yang lainnya. Adapun hubungan antara ilmu Allah Swt., keinginan, serta kehendak-Nya dengan masalah Qadha dan Qadar, yaitu ilmu Allah Swt. yang diisyaratkan dalam sejumlah nas, hal itu merupakan cakupan penguasaan Allah Swt. yang mutlak terhadap dunia ini dan apa pun yang terjadi di dalamnya berupa perbuatan, baik yang diinginkan manusia maupun tidak.
Tidak ada kaitan ilmu ini dengan keberadaan sesuatu dari sisi bagaimana mengadakannya karena hal ini terkait dengan penciptaan Allah Swt. terhadap sesuatu itu. Keterkaitan ilmu Allah Swt. dari sisi sesuatu terhadap keberadaan, eksistensi, dan akan berakhir dengan bentuk begini atau begitu. Adapun keinginan dan kehendak Allah Swt. yang diisyaratkan dalam nas-nas lain berarti tidak ada sesuatu pun atau kejadian apa pun, serta tidak ada khasiat apa pun di dunia ini kecuali keberadaan atau terjadinya itu bukan karena paksaan dari Allah Swt., baik perbuatan itu termasuk Qadha dan Qadar maupun perbuatan yang lakukan manusia sesuai dengan keinginannya sendiri. Semua itu tidak ada kaitannya dengan iradah Allah Swt., tetapi termasuk dalam lingkup Qadha dan Qadar.
Selain itu, termasuk dalam pembahasan adanya perintah Allah Swt. bukan karena keinginan dan pilihan manusia. Adapun perbuatan yang diinginkan manusia tidak ada kaitannya dengan iradah Allah Swt. dan bukan karena paksaan-Nya karena iradah Allah Swt. bersifat mutlak tidak dicampuri dengan keinginan makhluknya, sebagaimana halnya qadha.
Iradah Allah Swt. tidak dapat mencegah perbuatan yang dikehendaki manusia atau memaksakan terjadinya perbuatan yang lain. Iradah Allah Swt. tidak turut mencampuri, namun membebaskan manusia melakukan perbuatan atau meninggalkannya. Manusia melakukan perbuatan karena keinginannya dan karena izin Allah Swt. Demikianlah hubungan antara Qadha dan Qadar dengan ilmu dan kehendak Allah Swt.
Adapun pengaruh pembahasan Qadha dan Qadar dalam kehidupan manusia akan tampak ketika manusia memahami dengan jelas hakikat benda berikut khasiat dengan berbagai jenisnya, serta segala sesuatu yang menimpa padanya. Lalu, manusia mengetahui apa yang wajib untuk diimani dan diyakini, serta apa yang wajib untuk diamalkan. Serta-merta dia melangkah dalam kehidupan ini tanpa takut untuk mengendalikan segala sesuatu dan mempergunakannya dengan cara yang diizinkan baginya.
Dengan kata lain, manusia bisa menyingkap apa pun yang memang diperbolehkan. Semuanya dilakukan sesuai dengan perintah dan larangan Allah Swt. tanpa kepasrahan terhadap perkara-perkara gaib dalam melakukannya. Dengan demikian, sampailah dia pada hasil dengan sebab musabab yang sejalan dengan hukum alam dan aturan yang telah Allah Swt. buat untuk alam semesta ini. Namun, semua itu bersandar pada kemampuan untuk memahami sesuatu dan khasiatnya yang telah Allah Swt. anugerahkan pada manusia.
Di samping itu, hendaknya manusia bertawakal kepada Allah Swt. karena kelemahan dirinya, serta dia selayaknya meminta agar diberi-Nya kekuatan untuk menambah pengetahuan tentang segala sesuatu. Selanjutnya, dia berharap dengan khasiat dan segala jenisnya tersebut bisa menambah pengembangan dan pembangunan di alam ini. Dari sini, jelas sudah kepentingan penjelasan masalah Qadha dan Qadar dalam kehidupan seorang Muslim karena dia akan menjadi subjek dengan kekuatan pendorong yang kuat, bukan sebagai orang yang malas dan selalu berpangku tangan.
Diskusi
Tanya: Dari mana datangnya keinginan manusia untuk melakukan perbuatan tertentu atau meninggalkan perbuatan tersebut?
Jawab: Kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan naluri dan kebutuhan jasmani mendorong manusia untuk melakukan perbuatan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Namun, kecenderungan ini tidak menentukan jenis perbuatan, kadarnya, ataupun waktunya. Kecenderungan semata-mata mendorong perbuatan untuk pemenuhan kebutuhan. Hal ini karena khasiat kecenderungan tidak terikat dengan perbuatan tertentu, tetapi bagi manusia banyak pilihan jenis perbuatan.
Sementara itu, memilih, bukan tabiat kecenderungan, tetapi tabiat akal. Tabiat akallah yang memberikan pilihan-pilihan dan menjelaskan perbedaan di antara pilihan tersebut. Kemudian, akal akan menentukan satu pilihan perbuatan yang akan dilakukan.
Dari sinilah, terbentuknya keinginan (iradah) manusia, yaitu dorongan kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan. Pemenuhan tersebut tanpa dibatasi perbuatan tertentu dan tanpa adanya campur tangan khasiat akal untuk menentukan jenis perbuatan dalam rangka mewujudkan pemenuhan itu.
Tanya: Jika demikian, berarti tidak ada hubungan antara keinginan manusia dengan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya?
Jawab: Hal ini benar dari sisi kecenderungan dan motivasinya. Akan tetapi, iradah itu tidak terbentuk dari itu saja karena sesungguhnya setelah kecenderungan dan motivasi tadi diarahkan oleh keimanan yang ada pada akal, manusia akan menggunakan kecenderungan tadi. Yaitu, ketika manusia memanfaatkan khasiat tamyîz dalam menentukan perbuatan mana yang akan dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan dan perbuatan mana yang akan ditinggalkannya.
Adapun yang menjadi pemeran utama dalam pembentukan iradah adalah pemenuhan itu sendiri. Namun, pemenuhan akan tetap tersimpan hingga suatu saat akan keluar pada tempat tertentu yang ditentukan oleh pemikiran dan keyakinan yang tersimpan dalam otak dan akal, ketika akal membedakan jenis perbuatan.
Tanya: Di mana hubungan perintah dan larangan Allah Swt. dalam masalah ini?
Jawab: Perintah dan larangan Allah Swt. itu adalah pemikiran, keyakinan, dan hukum-hukum yang tersimpan dalam otak di bawah tuntutan untuk menjalankan kepentingan akal dalam membedakan perbuatan yang mungkin dapat memenuhi dengan asas perintah dan larangan tersebut.
Kemudian, akal akan mengarahkan kecenderungan pada satu perbuatan yang juga ditentukan oleh pemikiran, keyakinan, dan hukum-hukum tadi. Jika terjadi yang sebaliknya, yaitu kecenderungan diarahkan pada perbuatan lain yang menyimpang dari pemikiran, keyakinan, dan hukum tadi itu, maka berarti kesalahan ada pada pengetahuan yang tersimpan dalam otak bukan pada kecenderungan.
Tanya: Jika demikian, mungkinkah terjadi penyelarasan antara pemikiran dan informasi yang ada pada otak dengan perbuatan yang muncul dari manusia ?
Jawab: Hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat informasi dan motivasi hanya terdiri dari satu jenis. Yaitu, dengan menjadikan informasi tadi sebagai pemahaman, standar, dan aturan pada diri seseorang. Kemudian, motivasi dikaitkan dan diarahkan secara sempurna dengan pemahaman dan standar tadi. Hal inilah yang disebut dengan kesatuan pemikiran dan perasaan, kesatuan akal dan jiwa, atau kesatuan kepribadian (wihdah asy-syakhshiyyah).
Tanya: Bagaimana menjelaskan Qadha dan Qadar dapat mendorong seorang Muslim untuk berbuat dan memberikan kemajuan dalam hidupnya?
Jawab: Ketika dia memahami bahwa Qadha dan Qadar bagian dari keimanan dan keyakinan dalam diri seorang Muslim. Perbuatan-perbuatan di luar Qadha yang dipadukan dengan Qadar akan memberikan pengaruh berupa bertambahnya aktivitas Muslim di seluruh lapangan kehidupan. Kemudian, seorang Muslim wajib meyakini bahwa dia memiliki iradah yang ditantang oleh khasiat-khasiat untuk melakukan penemuan baru secara terus-menerus.
ULASAN
Seperti apa gambaran Qadha dan Qadar dalam kehidupan seorang Muslim? Sesungguhnya masalah Qadha dan Qadar termasuk tulang punggung keimanan. Seorang Muslim ketika meyakini bahwa Allah Swt. adalah Pencipta dan Pengatur dirinya, maka dituntut untuk melihat seperti apa pengaturan tersebut. Lalu, sampai batas mana tanggung jawab manusia terhadap perbuatan yang dilakukannya dan pada perbuatan yang menimpanya dalam lingkaran pengaturan ini. Walhasil, jelaslah perbuatan mana yang menjadi haknya dan mana yang merupakan kewajibannya.
Telah jelas batas tanggung jawab manusia itu ada pada perbuatan yang berasal dari manusia atau yang dikehendakinya. Dia akan memikul hisab dan sanksi atas apa yang dilakukannya sesuai dengan pilihan dan keinginannya. Adapun perbuatan yang dia lakukan jika bukan karena kehendak dan pilihannya atau perbuatan yang menimpa dirinya tanpa diinginkan, maka itu tidak termasuk tanggung jawab manusia dan tidak akan dihisab karenanya.
Dengan demikian, dia akan merasa tenang terhadap Qadha yang telah Allah Swt. tetapkan bagi hamba-Nya dan juga terhadap Qadar yang Allah Swt. tentukan pada semua makhluk. Karena itu, jelas baginya mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak. Dia merasa tenang karena Allah Swt. adil dalam hisab dan balasannya.
Dari sini penting untuk menjelaskan peranan Iradah Allah, Keinginan dan Kehendak-Nya, Izin Allah, Ilmu Allah Swt., dan tulisan yang tercantum di Lauhul Mahfuzh dalam perbuatan manusia. Maksudnya, apakah perbuatan manusia itu dilakukan karena adanya hal-hal tersebut atau karena salah satu darinya, dalam arti lain apakah manusia harus melakukan perbuatannya atau meninggalkannya karena hal tadi?
Ilmu, Iradah, dan Kehendak Allah Swt. merupakan sifat-sifat-Nya dengan kesempurnaan mutlak. Tidak akan terjadi sesuatu, kecuali Dia akan mengetahuinya dan sesuatu itu terjadi karena Izin, Kehendak, atau karena Iradah-Nya. Namun, maksudnya segala sesuatu yang terjadi bukan karena paksaan dari-Nya karena Allah Swt. Mahakuasa dan kekuasaan-Nya ini mutlak untuk mencampuri terjadi atau tidaknya sesuatu. Ketika Allah membiarkan sesuatu itu terjadi, maka kejadian itu karena Iradah dan kehendak-Nya dalam lingkaran ilmu-Nya.
Allah Swt. menciptakan makhluk hidup atau benda mati, serta Dia mengatur keduanya dengan pengaturan yang khas. Adapun makhluk-makhluk ini menjalankan aktivitasnya dengan pengaturan Allah Swt. Ketika Allah Swt. membiarkan makhluk ini menjalankan aktivitasnya, maka itu termasuk ke dalam Iradah-Nya karena Dia memiliki kekuasaan untuk mencabut pengaturan tadi. Pengaturan ini bertabiat memaksa dan mengikat benda dan makhluk hidup selain manusia karena mereka tidak dikhususkan seperti manusia yang punya iradah sebagai makhluk yang berakal.
Manusia diberi iradah yang terbentuk dari keyakinan dalam akal dan perasaannya sehingga dia dapat mengatur dan menguasai perbuatan-perbuatan yang menjadi tanggung jawabnya. Manusia akan diberi pahala saat mengatur perbuatannya dengan perintah dan larangan Allah Swt. dan akan diberi sanksi saat dia mengarahkan perbuatannya tidak dengan perintah dan larangan Allah Swt.
Berdasarkan nas-nas syariat yang membicarakan ilmu Allah, Iradah, Kehendak, Izin, dan tulisan Allah di Lauhul Mahfuzh, tidak berarti manusia kehilangan iradahnya. Akan tetapi sebaliknya, iradah itu tetap ada pada manusia dan berakibat pada adanya pertanggungjawaban dan perhitungan. Allah Swt. berfirman:
Dia mendapat pahala dari (kebajikan) yang diusahakannya, dan dia mendapat balasan dari apa (kejahatan) yang dikerjakannya.(QS al-Baqarah [2]: 286).
Tuhanmu tidak berbuat aniaya pada siapa pun. (QS al-Kahfi [18]: 49).
Terjadinya serangan musuh-musuh Islam terhadap kaum Muslim menjadi bukti bahwa keyakinan terhadap Qadha dan Qadar pada mereka merupakan sebab utama berdiam dirinya dan ketertinggalan mereka dari umat yang lain. Karena itu, mereka harus melepaskan diri dari keyakinan ini agar terlepas dari keterbelakangan dan bisa berjalan menuju kebangkitan dan kemajuan.
Serangan ini bisa terbantahkan dengan jelasnya pemahaman tentang Qadha dan Qadar. Karena itu, seorang Muslim saat memahami dengan sempurna bahwa Allah Swt. telah menciptakan alam ini dan mengaturnya dengan aturan yang terperinci dan lengkap, dia akan melakukan perbuatan dengan mengaitkan sebab dan akibatnya. Dalam hal ini antara sebab dan akibat tidak akan pernah menyimpang, kecuali ada peranan Allah Swt. dalam hal itu, seperti pada mukjizat para nabi.
Adapun dalam kehidupan normal, sunnatullah berlaku, yaitu ada keterkaitan antara hasil dengan sebabnya (hubungan sebab akibat), misalnya tidak ada kemenangan dalam peperangan tanpa mempersiapkan fisik dan mental (ruhani). Selain itu, tidak ada keberhasilan dalam ujian tanpa belajar sungguh-sungguh, serta tidak akan sukses panen dengan hasil melimpah, kecuali dengan perhatian yang serius pada bidang pertanian. Keyakinan terhadap Qadha dan Qadar dapat membuka mata manusia bahwa lapangan kehidupan ini terbentang luas di hadapannya. Setiap kelalaian dalam mengambil sebab, berarti kemalasan dalam mencapai hasil.
Banyak bukti bagi kita dari kehidupan Rasul saw. mengenai hal ini; di antaranya turunnya pasukan pemanah dari bukit Uhud menjadi sebab kekalahan; berhentinya Rasul saw. dan tentaranya di mata air saat perang Badar untuk istirahat dan minum sehingga musuh tertahan menjadi salah satu faktor kemenangan; menggali parit di sekeliling Madinah menjadi faktor kemenangan; keinginan kuat dari Nabi saw. agar masuk Islam salah satu dari dua orang yang bernama Umar menjadi sebab kemenangan Islam; perginya Rasul saw. menemui para pemuka kabilah dan mendakwahi mereka menjadi salah satu sebab kemenangan; dan lain-lain.
Inilah Islam, Islam menghendaki pemahaman yang benar terhadap Qadha dan Qadar. Sikap berdiam diri dan berpangku tangan dengan alasan bahwa suatu keadaan telah diketahui Allah Swt. sejak azali atau karena Kehendak dan Izin Allah dianggap telah keluar dari Akidah Islam yang benar.
Cukup bagi kita dengan mengatakan seandainya kaum Muslim sejak masa Rasul saw., serta sepanjang masa kekhilafahan dan futuhat bersikap pasrah terhadap perkara gaib atau yang disebut dengan Qadriyah Ghaibiyah (fatalisme), niscaya futuhat kaum Muslim tidak akan terwujud dan Islam tidak akan menyebar ke seluruh penjuru bumi.
Wahai kaum Muslim bertakwalah kepada Allah Swt. dalam keyakinan, lepaskanlah aib dan kotoran yang ada. Ketahuilah bahwa Qadha dan Qadar Allah Swt. akan menguatkan kelemahan kalian. Bergeraklah kalian untuk memimpin kebangkitan umat Islam dan untuk menyelamatkan bangsa-bangsa yang ada di muka bumi. Janganlah kalian berlindung pada orang-orang zalim karena mereka telah mempersiapkan kegagalannya di dunia dan akhirat. Hanya Allah Swt. semata yang akan mewujudkan tujuan kalian selama kalian yakin akan firman-Nya:
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa. (QS al-Hajj [22]: 40).
Iman terhadap qadha dan qadar merupakan salah satu pondasi dasar keimanan; yakni mengimani bahwa Allah itu mengetahui segala sesuatu, menciptakan segala sesuatu, tak ada sesuatu apapun yang keluar dari keinginan dan takdir-Nya. Allah telah menuliskan segala sesuatu di Al-Lauh Al-Mahfuuzh, yakni lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Serta mengimani bahwa di dunia ini semuanya selain Allah makhluk, mereka dengan seluruh perbuatan mereka. Segala yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan yang tidak Allah kehendaki pasti tidak akan terjadi. Segala yang menimpa seorang hamba, tidak akan mungkin meleset, dan segala yang meleset tidak akan mungkin menimpanya. Seorang hamba itu tidaklah dipaksa untuk melakukan ketaatan atau perbuatan maksiat, akan tetapi ia memiliki kehendak sendiri yang sesuai dengan substansi dirinya, namun kehendak itu tetap di bawah kehendak Allah. Wallahu A'lam.
Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa diri manusia pasti telah digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang Mahabijaksana. Semua telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir, dan berupaya memperbaiki citra diri.
Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah swt., seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah swt. Ia akan berubah menjadi batu karang yang tegar menghadapi segala gelombang kehidupan dan senantiasa sabar dalam menyongsong badai ujian yang silih berganti. Ia juga selalu bersyukur apabila kenikmatan demi kenikmatan berada dalam genggamannya. Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Rasul berikut ini.
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). [QS. Al-An’aam (6): 59]
Tiada seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah? Beliau menjawab, Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal).” Kemudian beliau membaca ayat ini, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar [QS. Al-Lail (92): 5-10].” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)
Sangat mengherankan seorang mukmin itu, karena semua urusannya mengandung kebaikan. Dan yang demikian itu tidak pernah dimiliki seseorang kecuali orang mukmin; apabila ia diuji dengan kenikmatan (kebahagiaan), ia bersyukur. Maka, inilah kebaikan baginya. Dan apabila ia diuji dengan kemelaratan (kepayahan), ia bersabar. Maka, inilah kebaikan baginya.” (HR Muslim dari Abu Yahya Shuhaib bin Shinan)
Secara etimologi, qadha memiliki banyak pengertian, diantaranya sebagaimana berikut:
1. Pemutusan, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “(Dia) yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan sesuatu perkara, hanya Dia mengatakan: Jdilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah (2): 117]
2. Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al-Israa` (17): 23]
3. Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat, “Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]
Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir 4/78)
Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini. “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” [QS. Fushshilat (41): 10]
Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).
Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari 11/477)
Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.
Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).
Dalil-dalil Qadha dan Qadar
Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa Syeikh Al-Islam, 8/258).
Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini.
Hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw. ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk.” (HR. Muslim)
Sekiranya Allah swt. menyiksa penduduk langit dan bumi, maka Dia sungguh melakukannya tanpa menzalimi mereka. Dan sekiranya Dia mengasihi mereka, maka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka. Dan sekiranya kamu memiliki emas seperti Gunung Uhud atau semisalnya, lalu kamu infakkan di jalan Allah, maka Dia tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman terhadap qadar dan kamu mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika kamu mati atas (aqidah) selain ini, maka niscaya kamu masuk neraka.” (HR. Ahmad, dari Zaid bin Tsabit)
Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan qadha dan qadar-Nya berikut ini.
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [QS. Al-Qamar (54): 49]
(Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh, sedangkan kafilah itu berada di bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Anfaal (8): 42]
“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” [QS. Al-Ahzab (33): 38]
“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah…,’ Ia bertanya, ‘Apa yang saya tulis?’ Dia berfirman, ‘Maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)
“Tiada seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal),’ kemudian beliau membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” [QS. Al-Lail (92): 5-10]
Rukun-rukun Iman Kepada Qadha Dan Qadar
Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak tangga tersebut.
Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.
Pertama, Ilmu Allah swt. Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus beriman kepda Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di masa yang akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.
Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah berikut ini.
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [QS. Ath-Thalaaq (65): 12]
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-Hasyr (59): 22]
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” [QS. Al-An’aam (6): 59]
“Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika menciptakan mereka.” (HR Muslim)
Kedua, Penulisan Takdir. Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah swt. menulis dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan amal” yang dijaga. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hajj (22): 70]
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” [QS. Al-An’aam (6): 38]
“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah….” Ia bertanya, ‘Apa yang aku tulis?’ Dia berfirman, maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR. Ahmad)
Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah berfirman,
“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” [QS. Faathir (35): 44]
Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur`an, di antaranya sebagai berikut.
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” [QS. At-Takwiir (81): 29]
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” [QS. Al-An’aam (6): 39]
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” [QS. Yaasiin (36): 82]
“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih (memahami) agama ini.” (HR. Bukhari)
Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.
“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak
Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada
Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui
Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta
Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan
Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)
Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung
Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik
Keempat, Penciptaan-Nya. Ketika beriman terhadap qadha dan qadar, seorang mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” [QS. Az-Zumar (39): 62]
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.” [QS. Al-Furqaan (25): 2]
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat Itu.“ [QS. Ash-Shaaffat (37): 96]
“Sesungguhnya, Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.” (HR. Hakim)
Inilah empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini setiap muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai gerbang keimanan yang sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat rukun tersebut berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan ketika bangunan iman terhadap qadar rusak, maka juga akan menimbulkan kerusakan pada bangunan tauhid itu sendiri.
Macam-macam Takdir
Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah swt. memerintahkan Al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hadiid (57): 22]
“Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.” (HR. Muslim)
Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini.
“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia….” (HR. Bukhari)
Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [QS. Ad-Dukhaan (44): 4-5]
Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.
Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” [QS. Ar-Rahmaan (55): 29]
Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.
Berdalih dengan Qadar dalam Kemaksiatan dan Musibah
Semua yang ditakdirkan oleh Allah swt. selalu tersirat hikmah dan maslahat bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang telah diketahui oleh-Nya. Maka, Dia tidak pernah menciptakan kejelekan dan keburukan murni yang tidak pernah melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan keburukan ini tidak boleh dinisbatkan kepada Allah swt., melainkan dinisbatkan kepada amal perbuatan manusia. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah mengandung keadilan, hikmah, dan rahmat .
Hal ini berdasarkan firman Allah swt., “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” [QS. An-Nisaa` (4): 79]
Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan kemaksiatannya.
Allah membenci kekufuran dan kemaksiatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, Dia mencintai dan meridhai ketakwaan dan kesalehan. Dia juga menunjukkan dua jalan untuk hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan akal untuk memilih salah satu jalan tersebut sesuai pilihan dan kehendaknya. Maka, barangsiapa yang memilih jalan kebaikan ia berhak mendapat ganjaran dan yang memilih jalan keburukan atau kebatilan maka ia berhak mendapat siksa oleh karena hal ini dilakukan secara sadar dan atas pilihannya sendiri tanpa ada unsur paksaan. Meskipun sebab-sebab dan factor-faktor pendorong amal perbuatannya tidak lepas dari kehendak Allah swt.
Maka, tidak ada alasan dan hujjah lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran dan kemaksiantan yang dilakukannya karena takdir Allah swt. Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi-at Allah atas kekufuran mereka seperti dalam firmanNya;
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” [QS. Al-An’aam (6): 148-149]
“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.’ Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka, maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Tiap-tiap umat mempunyai rasul yang diutus untuk menerangkan kebenaran.” [QS. An-Nahl (16): 35]
Adapun berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpa manusia dapat dibenarkan Islam. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Nabi Adam dan Nabi Musa tentang musibah dikeluarkannya Bani Adam dari surga.
“Adam dan Musa berbantah-bantahan. Musa berkata, ‘Wahai, Adam, Anda adalah bapak kami yang telah mengecewakan dan mengeluarkan kami dari surga. Lalu Adam menjawab, ‘Kamu, wahai Musa yang telah dipilih Allah dengan Kalam-Nya dan menuliskan untkmu dengan Tangan-Nya, apakah kamu mencela kepadamu atas suatu perkara yang mana Allah telah menakdirkan kepadaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi bersabda, ‘Maka, Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.’” (HR. Muslim)
Buah Iman Kepada Qadar
Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah swt. secara benar akan melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi setiap permasalahan hidup.
Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab “Al-Qadha wa Al-Qadar” menyimpulkan buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.
Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan.
Kedua, tetap istiqamah. “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” [QS. Al-Ma’arij (70): 19-22]
Ketiga, selalu berhati-hati. “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” [QS. Al-A’raaf (7): 99]
Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan.
Hubungan Antara Qadha Dan Qadar
Qadha dan qadar selalu berhubungan erat. Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah SWT sejak zaman Azali. Sedangkan qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah SWT. Jadi hubungan antara qadha dan qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Perbuatan Allah SWT berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah SWT berfirman : ”Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya, dan kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”.
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu istilah, yaitu qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar dijelaskan bahwa antara qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan-Nya. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut
Artinya ” Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu istilah, yaitu
Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
Beriman kepada qadha dan qadar merupakan rukun iman yang keenam. Qadha adalah ketentuan akan kepastian yang datangnya dari Allah SWT terhadap segala sesuatu sejak zaman azali, yaitu sejak zaman sebelum sesuatu itu terjadi. Segala sesuatu yang terjadi telah diketahui Allah SWT terlebih dahulu karena Dialah yang merencanakan serta yang menentukannya. Seluruh makhluk, baik malaikat, syetan, jin, maupun manusia tidak akan mengetahui rencana-rencana Allah SWT tersebut.
Manusia punya rencana, tetapi Allah SWT yang menentukan. Ungkapan ini merupakan salah satu bentuk cara memahami qadha dan qadar Allah SWT. Manusia memang diberi kemampuan untuk berbuat dan berpikir, namun kedudukan Allah SWT dan kekuasaan-Nya adalah di atas segala-galanya.
Ketentuan Allah SWT ini merupakan hak mutlak (absolut), tanpa campur tangan siapapun dan dari manapun. Oleh karena itu manusia harus mau menerima kenyataan. Kemampuan manusia terbatas pada ikhtiar untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Sedangkan berhasil atau gagal, ini merupakan kekuasaan Allah SWT semata. Rasulullah saw bersabda :
Artinya : “Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a katanya: baginda s.a.w bersabda: Allah SWT mengutus Malaikat ke dalam rahim. Malaikat berkata: Wahai Tuhan! Ia masih berupa air mani. Setelah beberapa waktu Malaikat berkata lagi: Wahai Tuhan! Ia sudah berupa segumpal darah. Begitu juga setelah berlalu empat puluh hari Malaikat berkata lagi: Wahai Tuhan! Ia sudah berupa segumpal daging. Apabila Allah SwT membuat keputusan untuk menciptakannya menjadi manusia, maka Malaikat berkata: Wahai Tuhan! Orang ini akan diciptakan lelaki atau perempuan? Celaka atau bahagia? Bagaimana rezekinya? Serta bagaimana pula ajalnya? Segala-galanya dicatat ketika masih di dalam kandungan ibunya”. (HR Bukhari dan Muslim)
Qadar adalah ketentuan-ketentuan Allah SWT yang telah berlaku bagi setiap makhluk sesuai dengan ukuran dan ketentuan yang telah dipastikan oleh Allah SWT sejak zaman azali. Oleh karena itulah, baik buruknya telah direncanakan terlebih dahulu oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.” (QS Ar Ro’du: 8)
Dari pengertian hadis dan ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa qadha dan qadar atas diri manusia telah diputuskan oleh Allah SWT sebelum manusia ada atau dilahirkan ke dunia ini. Dalam kehidupan sehari-hari, istilah qadha dan qadar biasa disebut juga dengan takdir. Jadi, beriman kepada qadha dan qadar dapat dikatakan pula dengan beriman kepada takdir.
Takdir baru dapat diketahui oleh manusia dengan kenyataan atau peristiwa yang yang telah terjadi, contoh :
1. Terjadinya musibah bencana tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember tahun 2004 yang merenggut ratusan ribu korban meninggal dunia. Sebelum kejadian tersebut tak ada seorangpun yang mengetahuinya.
2. Dalam suatu kejadian kecelakaan yang menewaskan seluruh penumpang ternyata ada seorang bayi yang selamat. Menurut ukuran akal, si bayi adalah makhluk yang sangat lemah dan tidak mampu mencari perlindungan, tetapi malah dia yang selamat. Sementara penumpang lain yang sudah dewasa dan dapat berusaha menyelamatkan diri malah meninggal dunia.
3. Ada seorang yang dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin. Orang sekampung memperkirakan anak tersebut kelak juga akan menjadi miskin seperti orang tuanya. Namun, setelah anak tersebut dewasa ternyata menjadi orang yang pandai berdagang, sehingga dia menjadi orang yang kaya.
Contoh-contoh di atas hanyalah merupakan bagian kecil ari peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan takdir Allah SWT. Masih banyak sekali peristiwa yang bisa kita pahami sebagai perwujudan dari qadha dan qadar dari Allah SWT. Namun dari berbagai contoh di atas menunjukkan bahwa qadha dan qadar Allah SWT akan tetap berlaku kepada setiap makhluk-Nya. Oleh karena itu, orang beriman harus meyakini dengan sepenuh hati akan adanya qadha dan qadar. Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (takdir) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”. (QS. Yasin : 38)
Dalam surat al-Hadid ayat 22, Allah juga berfirman :
Artinya : “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. al-Hadid : 22)
Kewajiban Beriman Kepada Qadha Dan Qadar
Kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi kepada diri kita, baik yang baik maupun yang buruk adalah kehendak Allah SWT. Sebagai seorang yang beriman, kita mesti ikhlas menerima segala ketentuan Allah SWT atas apa yang telah ditentukannya kepada diri kita.
Di dalam sebuah hadits qudsi, Rosulullah SAW bersabda yang artinya:
”Barangsiapa yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku, dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani)
Takdir Allah SWT merupakan iradah atau kehendak Allah SWT. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah SWT kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah SWT maha mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
Macam-macam Takdir
Meskipun segala sesuatu yang terjadi di jagat raya ini sudah ditentukan oleh Allah sejak zaman azali, tetapi pemberlakuan takdir Allah tersebut ada juga yang mengikutsertakan peran makhluk-Nya. Karena itulah, takdir dibagi menjadi dua, yaitu takdir mubram dan takdir mu’allaq :
1. Takdir Mubram
Dalam bahasa Arab, mubram artinya sesuatu yang sudah pasti, tidak dapat dielakkan. Jadi, takdir mubram merupakan ketentuan mutlak dari Allah SWT yang pasti berlaku atas setiap diri manusia, tanpa bisa dielakkan atau di tawar-tawar lagi, dan tanpa ada campur tangan atau rekayasa dari manusia.
Contoh takdir mubram antara lain :
Waktu ajal seseorang tiba
Usia seseorang
Jenis kelamin seseorang
Warna darah yang merah
Bumi mengelilingi matahari
Bulan mengelilingi bumi
Jika Allah sudah menetapkan bahwa seseorang akan mati pada suatu hari, di suatu tempat, pada jam sekian, maka orang tersebut pasti akan mati pada saat dan tempat yang sudah ditentukan itu. Ia tidak akan bisa lari atau bersembunyi dari malaikat Izrail, meskipun ia berada di dalam sebuah tembok benteng yang sangat kokoh. Allah SWT. berfirman :
Artinya : “Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, meskipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…” (QS. an-Nisa : 78)
2. Takdir Mu’allaq
Dalam Bahasa Arab, mu’allaq artinya sesuatu yang digantungkan. Jadi, takdir mu’allaq berarti ketentuan Allah SWT yang mengikutsertakan peran manusia melalui usaha atau ikhtiarnya. Dan hasilnya aakhirnya tentu saja menurut kehendak dan ijin dari Allah SWT. Allah SWT. berfirman :
Artinya : “…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS. ar-Ra’d : 11)
Beberapa contoh takdir mu’allaq antara lain adalah kekayaan, kepandaian, dan kesehatan. Untuk menjadi pandai, kaya, atau sehat, seseorang tidak boleh hanya duduk berpangku tangan menunggu datangnya takdir tapi ia harus mengambil peran dan berusaha. Untuk menjadi pandai kita harus belajar; untuk menjadi kaya kita harus bekerja keras dan hidup hemat; dan untuk menjadi sehat kita harus menjaga kebersihan. Tidak mungkin kita menjadi pandai kalau kita malas belajar atau suka membolos. Demikian juga kalau kita ingin kaya, tetapi malas bekerja dan suka hidup boros; atau kita ingin sehat, tetapi kita tidak menjaga kebersihan lingkungan, maka apa yang kita inginkan itu tak mungkin terwujud.
Sebagaimana ciri orang yang beriman kepada qadha dan qadar di atas, orang yang meyakini takdir Allah SWT, tidak boleh pasrah begitu saja kepada nasib karena Allah SWT memberikan akal yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Allah SWT juga memberikan tubuh dalam bentuk sebaik-baiknya untuk digunakan sarana berusaha.
Dengan demikian, jelaslah bahwa beriman kepada qadha dan qadar Allah bukan berarti kita hanya pasrah dan duduk berpangku tangan menunggu takdir dari Allah; melainkan juga berusaha yang giat sepenuh hati mengubah nasib sendiri, berupaya bekerja dengan keras mencapai apa yang kita citacitakan.
Bagaimana manusia menyikapi takdir Allah SWT tersebut ? Untuk lebih memahaminya simaklah pembahasan mengenai iman kepada Qadha dan Qadar berikut ini !
Ciri Beriman Kepada Qadha dan Qadar.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang dihadapkan kepada kenyataan hidup yang dialaminya. Kenyataan itu kadang ada yang berbentuk positif dan terkadang negatif, seperti :
ada yang memuaskan ada yang tidak,
ada yang menyenangkan ada yang menyusahkan,
ada yang menurut kita baik ada yang buruk, dan sebagainya.
Bagi orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apapun kenyataan dan peristiwa yang dialaminya, akan ditanggapi dan diterima secara positif. Sebaliknya, bagi orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, kenyataan apapun yang diterima ditanggapi dan diterima secara negatif.
Contoh :
Orang beriman yang tertimpa musibah menanggapi kenyataan ini dengan kesabaran dan ketabahan. Kesabaran dan ketabahan merupakan sika positif yang dinilai Allah SWt dengan pahala. Jadi, selama dia sabar dan tabah, selama itu pula pahalanya terus mengalir.
Orang beriman ketika mendapatkan keberuntungan besar bersyukur dan merasa bahwa semua itu karunia dari Allah SWT. Untuk itu ia ingin berbagi kepada orang lain dengan menafkahkan sebagian keuntungannya tersebut.
Orang yang tidak beriman ketika mendapat musibah merasa bahwa dirinya tidak berguna lagi. Dia merasa putus asa dan akhirnya melampiaskannya dengan berbagai macam perbuatan yang merusak, seperti melamun, merokok, mengkonsumsi narkoba, bahkan ada yang bunuh diri.
Orang yang tidak beriman ketika mendapat keuntungan bisnis yang berlimpah malah menggunakannya untuk berfoya-foya. Dia merasa bahwa yang didapatnya itu semata-mata merupakan prestasi yang harus diraakan dan dia berhak dan bebas menggunakan sesuka hatinya.
Dengan memahami contoh-contoh tersebut, yakinkah kamu bahwa beriman kepada qadha dan qadar mempunyai peranan penting dalam kehidupan? Kalau yakin, tentu kamu ingin meningkatkan keimananmu kepada qadha dan qadar. Bagaimana ciri-ciri orang yang beriman kepada qadha dan qadar? Berikut ini merupakan ciri orang yang beriman kepada qadha dan qadar.
1. Selalu menyadari dan menerima kenyataan.
Iman kepada qadha dan qadar dapat menumbuhkan kesadaran yang tinggi untuk menerima kenyataan hidup. Karena yang terjadi adalah sudah pada garis ketentuan Allah pada hakekatnya bencana atau rahmat itu semata-mata dari Allah SWT. Firman Allah SWT :
Artinya : “Katakanlah: “Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Allah menghendaki bencana atasmu, atau menghendaki rahmat untuk dirimu dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah”. (QS. al-Ahzab : 17)
2. Senantiasa bersikap sabar.
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar akan senantiasa menerima segala sesuatu dengan penuh kesabaran, baik dalam situasi yang sempit atau susah dan tetap bersabar dalam situasi senang atau bahagia. Dengan demikian orang yang beriman kepada takdir Allah SWT senantiasa dalam keadaan yang stabil jiwanya.
Artinya : “Apakah manusia itu mengira mereka akan dibiarkan, sedang mereka tidak diuji lagi ?”. (QS. al-Ankabut : 2)
Wujud ujian dan cobaan bisa berupa tiadanya biaya pendidikan, fisik yang lemah, penyakit, orang tua meninggal, dilanda bencana alam, dan sebagainya. Perhatikan firman Allah berikut :
Artinya : “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah : 155)
Renungkan ayat 155 surat al-Baqarah, yaitu supaya memberi berita gembira kepada orangorang yang sabar. Memang dalam menghadapi cobaan diperlukan sikap sabar. Tanpa sikap sabar akan sulit manusia mencapai sukses.
3. Rajin dalam berusaha dan tidak mudah menyerah.
Agar seseorang terus giat berusaha ia pun yakin bahwa segala hasil usaha manusia selalu diwaspadai, dinilai, serta diberi balasan. Firman Allah :
Artinya : “Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan di perlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)”. (QS an-Najm : 39-42)
4. Selalu bersikap optimis, tidak pesimis.
Keyakinan terhadap Qadha dan Qadar dapat menumbuhkan sikap yang optimis tidak mudah putus asa. Karena ia yakin walau sering gagal, pasti suatu saat akan berhasil sehingga tidak akan berputus asa. Firman Allah SWT :
Artinya : “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf : 87)
5. Senantiasa menerapkan sikap tawakal.
Tawakal (berserah diri0 kepada Allah SWT akan tumbuh pada diri seseorang jika ia meyakini bahwa segala sesuatu telah dikehendaki Allah. Allah Maha bijaksana sehingga menurut keyakinannya Allah tidak mungkin menyengsarakannya. Allah sumber kebaikan sehingga tidak mungkin Allah menghendaki hamba-Nya kepada keburukan. Firman Allah SWT :
Artinya : “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu. Tidak ada satu binatang melata pun, melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (QS. Hud : 56)
Seperti yang telah disebutkan diatas, Pengertian Qadha dan Qadar Menurut bahasa Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan, pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Firman Allah:
Artinya: yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS .Al-Furqan ayat 2).
Kenyataan bahwa saat terjadinya disebut qadar atau takdir. Dengan kata lain bahwa qadar adalah perwujudan dari qadha.
Kewajiban Beriman Kepada Qada dan Qadar
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam. Lelaki itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah menjawab yang artinya: Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman pula kepada qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut berkata” Tuan benar”. (H.R. Muslim)
Lelaki itu adalah Malaikat Jibril yang sengaja datang untuk memberikan pelajaran agama kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jawaban Rasulullah yang dibenarkan oleh Malaikat Jibril itu berisi rukun iman. Salah satunya dari rukun iman itu adalah iman kepada qadha dan qadar. Dengan demikian, bahwa mempercayai qadha dan qadar itu merupakan hati kita. Kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan adalah atas kehendak Allah.
Sebagai orang beriman, kita harus rela menerima segala ketentuan Allah atas diri kita. Di dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang artinya: ” Siapa yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani)
Takdir Allah merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita bersyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
Hubungan Antara Qadha dan Qadar dengan Ikhtiar
Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluknya. Berkaitan dengan qadha dan qadar, Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut;
Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaekat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupnya) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya.
Janganlah sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas berusaha dan berbuat kejahatan. Pernah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, seorang pencuri tertangkap dan dibawa kehadapan Khalifah Umar. ” Mengapa engkau mencuri?” tanya Khalifah. Pencuri itu menjawab, ”Memang Allah sudah mentakdirkan saya menjadi pencuri.”
Mendengar jawaban demikian, Khalifah Umar marah, lalu berkata, ” Pukul saja orang ini dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya!.” Orang-orang yang ada disitu bertanya, ” Mengapa hukumnya diberatkan seperti itu?”Khalifah Umar menjawab, ”Ya, itulah yang setimpal. Ia wajib dipotong tangannya sebab mencuri dan wajib dipukul karena berdusta atas nama Allah”.
Mengenai adanya kewajiban berikhtiar , ditegaskan dalam sebuah kisah. Pada zaman nabi Muhammad SAW pernah terjadi bahwa seorang Arab Badui datang menghadap nabi. Orang itu datang dengan menunggang kuda. Setelah sampai, ia turun dari kudanya dan langsung menghadap nabi, tanpa terlebih dahulu mengikat kudanya. Nabi menegur orang itu, ”Kenapa kuda itu tidak engkau ikat?.” Orang Arab Badui itu menjawab, ”Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah”. Nabi pun bersabda, ”Ikatlah kudamu, setelah itu bertawakkalah kepada Allah”.
Dari kisah tersebut jelaslah bahwa walaupun Allah telah menentukan segala sesuatu, namun manusia tetap berkewajiban untuk berikhtiar. Kita tidak mengetahui apa-apa yang akan terjadi pada diri kita, oleh sebab itu kita harus berikhtiar. Jika ingin pandai, hendaklah belajar dengan tekun. Jika ingin kaya, bekerjalah dengan rajin setelah itu berdo’a. Dengan berdo’a kita kembalikan segala urusan kepada Allah kita kepada Allah SWT. Dengan demikian apapun yang terjadi kita dapat menerimanya dengan ridha dan ikhlas.
Mengenai hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar ini, para ulama berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam :
1.Takdir mua’llaq: yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contoh seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian. Dalam hal ini Allah berfirman:
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. ( Q.S Ar-Ra’d ayat 11)
2.Takdir mubram; yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.
Hikmah Beriman kepada Qada dan Qadar
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain:
1.Melatih diri untuk banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian
Firman Allah yang Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).
2.Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.
Firman Allah SWT Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat 87)
Sabda Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim)
3.Memupuk sifat optimis dan giat bekerja
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu.
Firaman Allah Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)
4.Menenangkan jiwa
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku.( QS. Al-Fajr ayat 27-30)
Keyakinan Terhadap Qada dan Qadar
Karena persoalan Qadha dan Qadar erat hubungannya dengan akidah, maka pandangan yang diberikan dan diskusi yang dilakukan mengenai persoalan ini harus dengan metode rasional—sebagaimana pembahasan sebelumnya—supaya keimanan yang lurus dan benar bisa dicapai. Metode rasional ini tidak menerima bukti-bukti filsafat dan logika mantik yang abstrak dan imajiner yang tidak berdasarkan fakta konkret dan terindra.
Asas pertama dalam akidah, yaitu keimanan terhadap eksistensi Allah al-Khaliq al-Mudabbir ditetapkan dengan metode rasional yang berlandaskan pada sesuatu yang terindra. Begitu pula asas kedua, yaitu mengimani al-Quran al-Karim sebagai risalah bagi seluruh manusia,
serta asas ketiga, yaitu mengimani Nabi Muhammad saw. adalah utusan Allah Swt. bagi seluruh manusia dibangun berlandaskan pada sesuatu yang terindra pula.
Adapun perkara-perkara gaib yang terkandung dalam al-Quran dan Hadis Mutawatir sebagai asas keempat juga ditetapkan dengan metode rasional yang berlandaskan pada sesuatu yang terindra. Masih ada tersisa satu asas keimanan, yaitu masalah Qadha dan Qadar dan tentu saja pembahasannya harus ditempuh dengan cara yang sama, yaitu metode rasional yang berlandaskan pada sesuatu yang terindra dan menolak metode mantik atau filsafat karena semua itu bersifat dzann (persangkaan). Adapun akidah dasarnya harus sesuatu yang meyakinkan dan tidak akan sampai pada keyakinan selain sesuatu yang meyakinkan. Allah Swt. Berfirman:
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan sesungguhnya persangkaan itu tiada berguna sedikit pun terhadap kebenaran. (QS an-Najm [53]: 28).
Apakah mengimani Qadha dan Qadar merupakan perkara yang dituntut oleh al-Quran dan Hadis Mutawatir? Bagaimana munculnya masalah ini dan menjadi bagian dari Akidah Islam? Pendapat seperti apa yang memberi keyakinan dan kepastian, juga memberi ketenangan dalam jiwa dan dapat memuaskan akal yang menjadikan Qadha Qadar ini bagian dari Akidah Islam? Bagaimana masalah Qadha dan Qadar ini muncul dalam pemikiran Islam dan menjadi salah satu asas Akidah Islam? Selain itu, apakah al-Quran serta Hadis Mutawatir menuntut kaum Muslim untuk mengimani Qadha dan Qadar? Pertanyaan ini akan dijawab dalam bab berikut.
Setelah futûhât Islam (pembukaan daerah oleh kaum Muslim) makin luas, terjadilah benturan pemikiran yang amat keras antara kaum Muslim dengan penganut agama lain yang mengemban pemikiran filsafat Yunani. Hal ini menimbulkan keinginan yang kuat pada kaum Muslim untuk mendakwahkan Islam dengan berbekal senjata berupa filsafat saat melawan musuh mereka. Di samping itu, sudah menjadi ciri khas ajaran Islam yang memerintahkan untuk berdebat dengan musuh Islam:
Bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS an-Nahl [16]: 125).
Dari perdebatan ini, lahirlah ilmu kalam dan ulama Mutakallimin. Mereka membela Islam dengan metode pembahasan, penetapan, dan penggalian dalil yang khas. Metode mereka menyalahi metode al-Quran, hadis, dan Sahabat, serta pada saat yang sama juga berbeda dengan metode filsafat Yunani. Perbedaan metode mereka dengan metode al-Quran; al-Quran berjalan di atas dasar fitrah dan akal yang berlandaskan pada sesuatu yang terindra, bukan pada logika abstrak dan filsafat khayali.
Sementara itu, perbedaan mereka dengan metode filsafat Yunani; filsafat Yunani bersandar pada bukti akal semata, sedangkan Mutakallimin mengambil bukti dengan dalil rasional untuk mengimani Allah, Rasul, dan Kitab-Nya. Jadi, kesalahannya adalah ketika mencari bukti, mereka bersandar pada logika mantik, bukan pada pengindraan sehingga bertentangan dengan Islam. Tidak terkecuali mereka pun membahas sesuatu yang di luar pengindraan, yaitu mengenai Zat Allah dan sifat-sifat-Nya.
Mereka menganalogikan Allah Swt. dengan manusia dan hal ini mustahil karena tidak ada sesuatu pun yang menyamai Allah Ta’ala. Dalam mengimani Allah, mereka bersandar pada akal semata, padahal seharusnya mereka bersandar pada sesuatu yang terindra yang dapat dijangkau akal. Seharusnya mereka bersandar pada apa yang tercantum dalam al-Quran dan Hadis Mutawatir, serta senjata yang mereka gunakan seharusnya diambil dari al-Quran dan Hadis Mutawatir, bukan dari manusia. Ringkasnya, mereka harus bersandar pada metode al-Quran ketika berdakwah; bersandar pada asas fitrah dan akal; serta pada hal-hal yang terindra saja.
Bagaimana masalah Qadha dan Qadar ini muncul dikalangan ulama kalam? Hal ini jelas dari sambutan mereka terhadap lontaran musuh Islam berupa pemikiran filsafat Yunani dan pertentangan mereka dalam membahas pemikiran yang dilontarkan. Masalah Qadha dan Qadar disebut juga masalah ‘jabr’ dan ‘ikhtiar’ (paksaan dan pilihan) atau masalah ‘kebebasan berkehendak’ yang semuanya bermakna sama, yaitu apakah manusia dipaksa melakukan perbuatannya dan meninggalkan perbuatannya. Semua ini berasal dari pemikiran filsafat.
Golongan Epikurisme (aliran filsafat Yunani) berpendapat adanya kebebasan memilih pada manusia, sedangkan golongan Stoisisme berpendapat adanya paksaan atas manusia dan dia tidak bebas memilih. Kaum Muslim menentang pembahasan mereka dengan bersandar pada sifat adil yang dinisbahkan kepada Allah Swt. Maka itu, munculah kelompok Mu’tazilah sebagai kelompok pertama dari kaum Muslim yang membahas persoalan ini, kemudian disusul oleh kelompok lainnya dalam rangka membantah pendapat Mu’tazilah.
Kelompok ini berpendapat bahwa Allah Swt. suci dari berbuat dzalim, mereka mengakui kebebasan berkehendak pada manusia dan kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan satu perbuatan. Mereka menganalogikan Allah Swt. dengan manusia dan Allah Swt. dipaksa tunduk mengikuti aturan alam ini sebagaimana yang dilakukan oleh para filsuf Yunani. Kemudian, mereka menggali dalil dari al-Quran untuk menguatkan pendapatnya, serta menakwilkan ayat-ayat al-Quran yang tidak sejalan dengan pendapat mereka. Ayat yang mereka jadikan dalil antara lain adalah:
Tidaklah Allah menghendaki kezaliman bagi hamba. (QS al-Mu’minun [23]: 31).
Ayat yang mereka takwilkan, misalnya:
Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, serta penglihatan mereka ditutup. (QS al-Baqarah [2]: 7).
Mereka berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri dengan dalil:
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (QS al-Muddatstsir [74]: 38).
Selain itu, mereka menakwilkan ayat:
Padahal, Allahlah yang telah menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu. (QS ash-Shaaffaat [37]: 96).
Mereka juga berpendapat bahwa apa yang terlahir dari perbuatan manusia seperti rasa sakit karena pukulan atau terpotong oleh pisau adalah termasuk perbuatan manusia karena yang memunculkannya adalah manusia.
Pendapat Mu’tazilah ini membangkitkan perasaan kaum Muslim lain untuk memelihara akidah, mereka menentang dan menolak Mu’tazilah. Datanglah kelompok Jabariyah yang menolak mentah-mentah pendapat tersebut. Mereka katakan bahwa manusia itu dipaksa, tidak punya kehendak dan kekuasaan untuk menciptakan perbuatannya, serta Allah Swt. yang telah menciptakan perbuatan manusia. Mereka menggali dalil dari banyak ayat, di antaranya:
Kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah. (QS at-Takwiir [81]: 29).
Padahal, Allahlah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu. (QS ash-Shaaffaat [37]: 96).
Mereka menakwilkan ayat lain yang bertentangan dengan pendapat mereka. Kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia sesuai dengan kehendak dan keinginan Allah Swt. Ketika mereka merasa pendapatnya bertolak belakang dengan Jabariyah, mereka menafsirkan kata ‘iradah’ dan ‘masyiah’ bahwasanya Allah Swt. menginginkan kekufuran pada orang kafir dan kefasikan pada orang fasik sesuai dengan pilihan mereka tanpa ada paksaan. Mereka menafsirkan makna perbuatan berasal dari Allah Swt. di atas tangan manusia yang maksudnya adalah Allah Swt. telah menciptakan perbuatan, tetapi manusia yang menjalankan perbuatan itu.
Kelompok Ahlus Sunnah ini menjelaskan bahwa manusia mengupayakan perbuatan ketika iradah dan kekuasaan Allah menuju pada manusia. Allah Swt. menciptakan perbuatan itu sesuai iradah-Nya dan pada saat yang sama Allah Swt. menghadapkan iradah itu kepada manusia. Mereka menggali dalil dari ayat yang sama dengan kelompok Jabariyah, yaitu firman Allah Swt. berikut:
Dia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan dia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS al-Baqarah (2) ayat 286).
Ayat ini mereka jadikan dalil bahwa al-kasbu (usaha) itu datang dari hamba, sementara itu dalil tentang penciptaan perbuatan itu dari Allah Swt. adalah ayat yang digunakan oleh kelompok Jabariyah.
Namun, mereka menganggap dirinya berbeda dengan Mu’tazilah dan Jabariyah, padahal sebenarnya pendapat mereka sama persis dengan Jabariyah. Sesungguhnya tidak ada satu dalil pun yang menjelaskan masalah al-kasbu (usaha) hamba, baik dalil akli maupun naqli karena pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini tidak lebih dari upaya mengompromikan pendapat Mu’tazilah dan Jabariyah.
Para ulama Kalam (Mutakallimin) telah membuat topik pembahasan Qadha dan Qadar ini mengenai perbuatan hamba dan apa yang terlahir dari perbuatan itu berupa karakter yang ada pada perbuatan. Mereka mempersoalkan apakah perbuatan yang dilakukan manusia berikut karakter yang ada di dalamnya itu diciptakan oleh Allah Swt. atau oleh manusia? Apakah perbuatan itu terjadi karena keinginan Allah Swt. atau keinginan manusia? Mereka membicarakan semua ini berdasarkan filsafat Yunani. Karena itu, dari sini ditentukan batasan masalah Qadha dan Qadar itu adalah perbuatan hamba dan karakter yang ada dalam suatu benda yang ditimbulkan manusia dari perbuatannya. Qadha berkaitan dengan perbuatan hamba dan qadar berkaitan dengan karakteristik benda.
Setelah pendapat Mu’tazilah mulai surut dan didominasi oleh Ahlus Sunnah, perdebatan lebih condong pada pendapat Ahlus Sunnah. Pendapat Ahlus Sunnah terbagi menjadi dua, sebagian mereka melarang pembahasan Qadha Qadar dengan alasan Hadis Rasul saw.:
Apabila disebut tentang qadar, hendaklah kalian diam.
Sebagian lagi mengatakan ada perbedaan antara Qadha dan Qadar. Qadha adalah hukum global pada sesuatu yang global, sedangkan Qadar adalah hukum parsial pada sesuatu yang parsial.
Pendapat lainnya tentang Qadha itu adalah perencanaan dan Qadar adalah pelaksanaan. Ada pula yang berpendapat Qadar itu takdir, sedangkan Qadha adalah penciptaan. Di antara mereka ada yang menggabungkan Qadha dan Qadar, serta menjadikan Qadar sebagai landasan, sedangkan Qadha adalah bangunan yang ada di atasnya. Di samping itu, sebagian dari mereka ada yang memisahkan kata Qadha dan Qadar. Namun, yang penting adalah pembahasan Qadha dan Qadar ini telah menjadi pembahasan akidah dan menjadi salah satu rukunnya. Dengan demikian, sangat perlu untuk menggunakan metode rasional ketika membahasnya agar sampai pada pendapat yang meyakinkan.
Kembali pada pendapat Mutakallimin tentang makna Qadha dan Qadar, kita dapati mereka telah jauh keluar dari makna bahasa dan makna dari nas syar’i. Kata Qadha dan Qadar mengandung banyak makna. Kata qadha secara bahasa artinya membuat sesuatu, memutuskan perkara, dan melaksanakan perintah. Secara syar’i, qadha bermakna menetapkan, memerintah, mengharuskan, dan memutuskan. Tidak ada qadha yang bermakna hukum Allah pada sesuatu yang global ataupun makna qadar adalah hukum Allah pada sesuatu yang parsial.
Adapun qadar menurut bahasa berarti mengatur, mempersiapkan, membandingkan, mengagungkan, memutuskan, membagi, dan mempersempit. Makna syar’i qadar sama dengan makna bahasanya. Jelas bagi kita apa yang dimaksud dengan kata Qadha dan Qadar yang ada dalam ayat-ayat al-Quran dan Hadis, yaitu takdir dan ilmu Allah Swt., serta tidak ada hubungannya dengan makna yang dimaksud oleh ulama kalam. Adapun ucapan Rasul saw., “Apabila disebut tentang qadar, hendaklah kalian diam”, ini berarti apabila disebut tentang ilmu Allah dan takdir-Nya bagi sesuatu, jangan kalian libatkan diri kalian untuk membahasnya karena itu termasuk sifat dari Allah Swt. yang wajib diimani dan diterima karena Allah Swt. Berfirman:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS asy-Syura [42]: 11).
Demikian pula ucapan Sahabat, “Segala sesuatu menurut qadarnya”, berarti takdir itu dari Allah Swt. dan atas ilmu-Nya. Begitu pula, ucapan Rasul saw., “Katakanlah, Allah telah menetapkan sesuatu dan apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi”, artinya Allah Swt. telah menuliskannya di Lauhul Mahfudz, yaitu ilmu-Nya.
Merujuk pada sumber hukum syariat di masa seluruh Sahabat ra, kita mendapati di masa mereka dan sepanjang abad pertama hijriah, kaum Muslim tidak mengenal pembahasan Qadha dan Qadar sebagai gabungan dua kata. Adapun yang ada adalah kata qadha saja dan qadar saja. Rasul saw. dalam doa qunut berkata, “ Jauhkanlah dariku keburukan yang telah engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkaulah pemberi ketetapan sehingga tidak ada sesuatu yang dapat ditetapkan seseorang terhadap apa yang menjadi ketetapan-Mu, artinya jauhkan dariku keburukan yang telah ditetapkan. Ucapan Rasul,“Katakanlah, Allah telah menetapkan sesuatu dan apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi” ini bermakna takdir dan ilmu Allah. Lebih dari itu, telah ada makna bahasa dan makna syar’i untuk kedua kata ini sehingga bertambah kuatlah bahwa tidak ada hubungan keduanya dengan masalah qadha dan qadar.
Dengan demikian, yang harus diperhatikan adalah membatasi makna dua kata itu pada makna bahasa dan makna syar’i, serta membuang makna yang berasal dari filsuf Yunani dan ulama kalam. Adapun topik atau masalah Qadha dan Qadar sebagai gabungan dua kata adalah tentang perbuatan manusia dan karakteristik benda. Pembahasan masalah ini harus dilandaskan pada asas yang dapat membuahkan hasil yang semestinya, serta bukan pada dugaan dan khayalan.
Ini berarti penting bagi kita untuk memaparkan pandangan seputar filsafat dan mantik khususnya karena tidak satu pun nas Syar’i yang mengungkapkan masalah qadha dan qadar sebagai rahasia Allah. Masalah qadha dan qadar dapat diindra sehingga harus dibahas dan diberikan pandangan akal yang berdasarkan fakta karena hal ini berkaitan dengan keimanan terhadap Allah dan menjadi bagian dari pembahasan akidah.
Ketika mendalami masalah ini, tampak jelas yang menjadi dasar pembahasannya adalah pahala dan siksa atas perbuatan manusia, tidak ada yang lain. Hal ini akan segera tampak dalam penjelasan tiga bab selanjutnya.
Diskusi
Tanya: Apa yang dimaksud dengan benturan keras yang terjadi antara kaum Muslim dengan penganut agama lain yang menjadi musuh mereka?
Jawab: Perlawanan terhadap kaum Muslim dan negara mereka dengan menggunakan senjata, seperti halnya yang dilakukan oleh sekelompok aliran Syi’ah ataupun yang lainnya. Mereka memberi pengaruh kepada kaum Muslim dengan pemikiran-pemikiran filsafat yang jauh dari Islam. Adapun kelompok Khawarij mereka adalah sekelompok Muslim dan seandainya permusuhan mereka tidak beralih pada kontak senjata terhadap negara, niscaya pemikiran mereka tetap hidup di tengah kaum Muslim. Kisah mereka terhenti di masa kerajaan ‘Amman.
Tanya: Dalam al-Quran, Allah Swt. berfirman:
Janganlah kalian berdebat dengan Ahlul Kitab selain dengan cara yang lebih baik. (QS al-‘Ankabut [29]: 46).
Lalu, senjata apa yang dipergunakan?
Jawab: Khilafah Islam tidak pernah menggunakan senjata ketika menghadapi perang pendapat, kecuali ketika memerangi kemurtadan dan ketika terjadi kerusakan di muka bumi oleh kekuatan senjata karena hal ini diperintahkan oleh syariat
Tanya: Bagaimana metode al-Quran yang berlandaskan pada fitrah dan akal dalam menyikapi suatu fakta yang terindra?
Jawab: Fitrah manusia telah mengakui adanya Pencipta. Al-Quran telah menyeru dan memberi isyarat pada fitrah agar mengimani sesuatu yang diyakini dengan mengaitkannya pada bukti-bukti rasional yang didasarkan pada pemberian jawaban terhadap satu peristiwa yang terindra, ataupun pada makhluk hidup dan benda mati yang diakui semuanya oleh fitrah, bahwa ada Pencipta yang telah menciptakan dan mengatur mereka.
Tanya: Bagaimana perbedaan metode mantik dengan metode al-Quran?
Jawab: Mantik berpegang pada asumsi-asumsi akal semata tanpa memperhatikan fakta yang terindra. Sebagai contoh, bahwasanya perkataan manusia itu adalah sifat bagi manusia, perkataan menjadi makhluk karena manusia adalah makhluk, kemudian lahirlah kesimpulan bahwa al-Quran itu berupa perkataan, jadi al-Quran dianggap makhluk.
Inilah kesimpulan mantik yang tidak disandarkan pada sesuatu yang terindra karena al-Quran telah dipastikan dengan bukti akal di atas sesuatu yang terindra bahwa ia adalah Kalamullah dan menjadi satu dari sekian sifat Allah Swt. Kesimpulan mantik seperti itu harus ditolak karena bertentangan dengan firman Allah Swt.:
Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia. (QS asy-Syura [42]: 11).
Tanya: Apa maksud dari pendapat Epikurisme tentang kebebasan memilih pada manusia dan siapa yang terpengaruh oleh pendapat seperti itu?
Jawab: Artinya adalah manusia bebas untuk memilih dalam melakukan perbuatan atau tidak. Tidak ada sesuatu pun yang menguasai keinginannya saat dia berbuat. Kelompok Mu’tazilah telah terpengaruh oleh pendapat ini.
Tanya: Apa maksud dari pendapat Stoisisme tentang adanya paksaan dan tidak bebas memilih pada manusia, serta siapa yang terpengaruh oleh pendapat ini?
Jawab: Artinya, manusia dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan satu perbuatan, dia tidak memiliki keinginan dan kehendak dalam melakukan perbuatan atau tidak. Manusia diibaratkan bulu yang diembus angin. Kelompok Jabariyah telah terpengaruh oleh pendapat ini.
Tanya: Bagaimana kaum Muslim menyandarkan pendapatnya pada sifat adil Allah Swt. ketika mereka berselisih pendapat dengan ulama kalam dan para filsuf?
Jawab: Mereka mengatakan bahwa Allah Swt. itu adil, serta keadilan-Nya bersifat mutlak tidak pernah berlaku dzalim pada siapa pun. Karena itu, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia bebas memilih dalam melakukan perbuatan atau tidak, lalu manusia memikul tanggung jawab atas perbuatannya. Mu’tazilah menolak pendapat Jabariyah karena bertentangan dengan keadilan Allah Swt. Sementara itu, Jabariyah menakwilkan nas-nas agar sesuai dengan makna adil yang dinisbahkan kepada Allah Swt. sebagai analogi terhadap keadilan manusia.
Tanya: Mengapa ulama Kalam tidak memperhatikan adanya pahala dan siksa, padahal mereka memperhatikan sifat adil pada Allah Swt.?
Jawab: Karena mereka mencari jawaban pada pemikiran filsafat, kemudian mereka berusaha menemukan dalil-dalil syar’i yang mendukung pendapat mereka. Al-Quran tidak dijadikan asas pembahasan, tetapi filsafat Yunani sebagai asasnya. Mereka tidak merujuk pada al-Quran selain mencari legalitas bagi pendapat mereka.
Tanya: Tidakkah perdebatan masalah Qadha dan Qadar ini dapat dianggap sebagai sikap ikut-ikutan terhadap pendapat para filsuf?
Jawab: Untuk mengetahui dasar persoalan ini, pembahasan tentang Qadha dan Qadar jangan dianggap sebagai sikap ikut-ikutan, tetapi untuk menghasilkan kepastian dan agar persoalan ini ditempatkan secara benar. Karena inilah, yang akan menjauhkan Akidah Islam dari bahaya, serta akan membersihkan kaum Muslim dari fitnah yang keji.
Adapun jika pembahasan ini dianggap sebagai penolakan, maka itu benar diliihat dari membantah masalah sebelumnya. Namun, saat kita melihat masalah ini sebagai pembahasan akidah, kita tidak boleh meninggalkannya, tetapi harus memberikan pendapat dan sikap. Hal ini karena akidah adalah asas seluruh pemikiran dan hukum sehingga menjadi wajib untuk mengambil akidah dengan cara yang benar. Perdebatan ini yang bisa mewujudkan kewajiban memelihara akidah karena, “Tidak sempurnanya suatu kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib”.
Tanya: Dari mana kita mendapat gambaran bahwa persoalan Qadha dan Qadar bersifat rasional dengan faktanya yang terindra?
Jawab: Dalam hubungan ini karena dasar pembahasan Qadha dan Qadar dikaitkan dengan perbuatan manusia dan karakteristik benda yang faktanya terindra, serta dikaitkan pula dengan pahala dan siksa yang terkait dengan perbuatan manusia yang juga merupakan sesuatu yang dapat diindra.
Pemaparan 1
Apabila kita memperhatikan sejumlah ayat dalam al-Quran yang dijadikan dalil masalah Qadha dan Qadar, kebanyakan dijadikan orang sebagai dasar bahwa manusia itu dipaksa oleh keinginan dan kehendak Allah untuk melakukan perbuatan. Di samping itu, Allahlah yang menciptakan perbuatan manusia. Mereka tidak hanya mencukupkan dengan apa yang ditunjukkan oleh ayat tentang ajal di tangan Allah Swt., seperti ayat berikut:
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang tertentu waktunya. (QS Ali ‘Imran [3]: 145).
Tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS al-A‘raf [7]: 34).
Namun, mereka menggunakan dalil ayat lain mengenai paksaan atas perbuatan manusia, misalnya ayat berikut:
Tidak ada satu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS al-Hadid [57]: 22).
Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami dan hanyalah kepada Allah orang-orang beriman harus bertawakal.” (QS at-Taubah [9]: 51).
Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya seberat zarrah pun yang ada di langit dan di bumi, serta tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, selain tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh). (QS Saba’ [34]: 3).
Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allahlah kami kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. (QS al-An‘am [6]: 60).
Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini adalah dari sisi Allah,” dan kalau mereka ditimpa satu bencana, mereka mengatakan, “Ini datangnya dari sisi kamu (Muhammad).” Katakanlah, “Semuanya datang dari sisi Allah.” Maka itu, mengapa mereka (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun. (QS an-Nisa’ [4]: 28).
Padahal Allahlah yang telah menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu. (QS ash-Shaffat [37]: 96).
Mereka berusaha memperkuat pendapat dengan hadis-hadis seperti sabda Rasul saw.
Ruhul Qudus (Jibril as) telah berbisik padaku, ‘Tidak akan pernah mati seseorang hingga dipenuhi rezeki, ajal, dan apa yang telah ditakdirkan baginya.
Dengan nas-nas tersebut kelompok Jabariyah menggali dalil bahwa Allah Swt. yang telah menciptakan hamba dan apa yang dilakukannya. Manusia dipaksa dalam perbuatannya dan tidak diberi pilihan. Berbeda dengan Jabariyah, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia yang telah menciptakan perbuatannya dan tidak ada satu pun yang mencampuri keinginannya. Dengan demikian, manusia memikul tanggung jawab dan perhitungan atas perbuatannya. Di antara dua pendapat yang bertolak belakang ini muncul pendapat ketiga yang datang dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menjelaskan bahwa manusia mempunyai ‘kasb ikhtiari’ (bagian yang diupayakan) dalam perbuatannya dan dia akan dihisab atas hal itu.
Sejauh mana kedetailan dan kebenaran masalah Qadha dan Qadar menurut pandangan Ahlus Sunnah? Untuk itu kita perlu mengetahui apa yang menjadi dasar dalam pembahasan masalah ini, yaitu sebagai berikut.
Apakah manusia yang telah menciptakan perbuatannya ataukah Allah? Apakah Allah mengetahui bahwa manusia akan melakukan satu perbuatan dan apakah ilmu Allah meliputi hal itu? Apakah perbuatan manusia bergantung pada iradah Allah dan iradah itu mengharuskan adanya perbuatan tadi? Apakah perbuatan manusia itu telah dituliskan pada Lauhul Mahfuzh dan tulisan tersebut mengikat manusia untuk melakukan perbuatannya?
Ringkasnya, apakah asas pembahasan Qadha dan Qadar itu adalah qudrah (kekuasaan) Allah Swt. untuk menciptakan manusia beserta perbuatannya, ataukah asasnya adalah ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, ataukah iradah Allah yang berhubungan dengan semua yang ada, serta apakah asasnya itu Lauhul Mahfuzh yang dituliskan segala sesuatu?
Saat kita mendalami masalah ini tampak dengan jelas bahwa asas pembahasan bukanlah semua yang telah disebutkan di atas. Semestinya asas itu berkaitan dengan topik pahala dan siksa bagi perbuatan, serta asas ini menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam satu perbuatan. Artinya, apakah manusia itu terikat atau bebas dalam melakukan perbuatan, yang baik ataupun buruk, serta apakah manusia mempunyai pilihan dalam melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan, ataukah dia dipaksa dalam hal ini?
Sekarang kita akan membahas peranan manusia dan kaitannya dengan perbuatan yang berasal darinya atau yang menimpanya untuk melihat sejauh mana tanggung jawab manusia terhadap perbuatan yang dilakukannya dan dia menanggung hisab atas perbuatannya itu. Kita menemukan ada dua jenis perbuatan, yaitu perbuatan yang dilakukan karena pilihan manusia, serta perbuatan yang terjadi dari manusia dan yang menimpa manusia tanpa ada pilihan.
Perbuatan yang dilakukan dengan pilihan manusia adalah sejumlah perbuatan yang manusia menjadi pengendalinya dan dia berbuat sesuai dengan keinginannya atau ada peran manusia yang sempurna di dalamnya. Sama saja apakah perbuatan itu sesuai dengan Syariat Allah Swt. atau syariat lainnya. Jenis perbuatan ini terbagi dua sebagai berikut.
Pertama, perbuatan yang dilakukan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya secara langsung. Seperti kebutuhan naluri beragama dipenuhi manusia dengan melakukan shalat; naluri baqa’ dipenuhi dengan memiliki harta; naluri seksual dipenuhinya dengan melakukan hubungan seksual; serta rasa laparnya dipenuhi dengan makan; dan lain-lain.
Kedua, perbuatan yang dilakukan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya secara tidak langsung. Yaitu, ketika manusia membuat dan mengadopsi syariat tertentu yang mengatur cara pemenuhan kebutuhannya. Apakah syariat ini dibuat oleh akal dan pemikirannya atau diadopsi dari syariat yang sudah ada yaitu Syariat Allah Swt.
Pada setiap perbuatan itu kita menemukan bahwa manusia melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatannya kapan saja diinginkan, tidak ada campur tangan dari luar terhadap keinginannya itu ketika dia melakukannya atau tidak.
Adapun perbuatan yang terjadi tanpa ada pilihan manusia adalah sejumlah perbuatan yang tidak dikendalikan dan dikuasai olehnya. Tidak ada kehendak manusia ketika perbuatan itu terjadi dan manusia tidak kuasa untuk menolaknya. Perbuatan ini terbagi dua sebagai berikut.
Pertama, perbuatan yang termasuk Nizhâm al-Wujûd yang ada pada alam semesta, manusia, dan kehidupan. Seseorang hidup dan beraktivitas di alam ini mengikuti aturan yang telah ditentukan. Gaya tarik bumi (gravitasi) geraknya juga ditentukan. Contoh lain pada manusia, kemampuan usahanya untuk memenuhi kebutuhan telah ditentukan, perkembangan dan pertumbuhannya juga telah ditentukan. Perbuatan yang termasuk Nizhâm al-Wujûd ini terjadi tanpa ada upaya dan keinginan dari manusia, dia dipaksa untuk menerimanya tanpa ada pilihan. Manusia tidak bisa menolak gravitasi atau terbang di udara tanpa menggunakan alat, dia tidak bisa untuk mencampuri kedatangannya ke dunia dan kepergiannya nanti, serta dia juga tidak bisa menentukan bentuk tubuh ataupun warna kulitnya. Sebagai makhluk, manusia tidak punya pengaruh sedikit pun dalam semua itu. Allahlah yang telah menciptakan Nizhâm al-Wujûd, dan dengan hal itu Dia mengatur alam ini selamanya.
Kedua, perbuatan yang tidak termasuk Nizhâm al-Wujûd, tetapi berasal dari manusia, dengan tanpa keinginan dan pilihannya. Contohnya, ketika seseorang bermaksud menembak seekor burung, tetapi salah sasaran dan mengenai orang lain. Contoh lain, seseorang yang tidur di atas menara, kemudian jatuh dan menimpa orang lain hingga meninggal. Dari sisi terjadinya perbuatan itu, tanpa ada kehendak dari manusia. Adapun perbuatan yang menimpa manusia dan dia tidak kuasa untuk menolaknya contohnya adalah orang yang terbunuh oleh si penembak burung dan orang yang berada di bawah menara.
Setelah kita memperhatikan dua jenis perbuatan ini, nyatalah bahwa manusia berada di bawah penguasaan perbuatan itu. Selain itu, manusia tidak punya kehendak dan keinginan dalam menciptakan perbuatan yang termasuk dalam Nizhâm al-Wujûd atau dalam perbuatan yang tidak kuasa dia menolaknya, yaitu selain yang termasuk dalam Nizhâm al-Wujûd. Kedua macam perbuatan inilah, yang dinamakan Qadha. Karena itu, Allah Swt. sajalah yang menetapkannya, yaitu memerintahkan terjadinya perbuatan itu tanpa campur tangan manusia. Dalam lingkup perbuatan seperti ini, seorang hamba tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan yang menimpanya, baik bermanfaat atau tidak, buruk atau baik, ataukah perbuatan itu menurut kemampuan akalnya dirasakan baik atau buruk. Manusia hanya diminta untuk menerima dan mengimani bahwa semua itu berasal dari Allah Swt. selama manusia mengimani Allah sebagai Khalik dan Pengatur.
Diskusi
Tanya: Apakah kematian dan ajal termasuk pembahasan Qadha dan Qadar, padahal itu bukan perbuatan manusia?
Jawab: Ya, benar. Maut dan ajal merupakan perbuatan nyata yang menimpa manusia dan harus ada penentuan sejauh mana tanggung jawab manusia terhadapnya, dan hal ini mendukung masalah Qadha dan Qadar.
Tanya: Apakah tulisan yang tercantum dalam ayat-ayat yang mulia itu termasuk dalam masalah Qadha dan Qadar, padahal itu semua dinisbahkan kepada Allah Swt?
Jawab: Ya, benar. Ayat-ayat itu berkenaan dengan perbuatan yang berasal dari manusia dan perbuatan yang menimpa manusia.
Tanya: Bagaimana ilmu Allah Swt. bisa masuk dalam pembahasan Qadha dan Qadar?
Jawab: Ilmu Allah Swt. meliputi segala sesuatu, baik perbuatan maupun benda, sebelum adanya dan sesudahnya, ini termasuk hubungan perbuatan manusia dengan Allah. Karena itu, perlu ada pengetahuan tentang sejauh mana pengaruh ilmu ini terhadap perbuatan manusia untuk menentukan tanggung jawab manusia terhadapnya.
Tanya: Apa makna ayat yang mengatakan bahwa kebaikan dan keburukan yang menimpa manusia berasal dari sisi Allah Swt?
Jawab: Artinya, Allah Swt. itu Pencipta dan Pengatur yang berkuasa atas segalanya. Kekuasan Allah Swt. itu mutlak dan Dia menciptakan manusia dengan bentuk seperti itu, kemudian mengatur dan memberinya aturan. Seandainya terjadi suatu perbuatan, manusia akan menafsirkannya dengan baik atau buruk menurut apa yang membawa manfaat atau mudharat kepadanya. Sesungguhnya perbuatan tersebut berasal dari Allah, di samping itu merupakan qadha yang manusia tidak punya peranan dan keinginan untuk membuatnya, serta tidak kuasa untuk menolaknya.
Tanya: Kesalahan apa yang ada pada pendapat kelompok Jabariyah, Mu’tazilah, dan Ahlus Sunnah, padahal mereka berusaha menentukan hubungan manusia dengan perbuatannya dan tanggung jawab manusia terhadap perbuatannya?
Jawab: Kesalahannya adalah mereka berhenti pada topik kekuasaan Allah dalam menciptakan, ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu dan ketentuan-Nya yang tercatat di Lauhul Mahfuzh, serta adanya iradah dan kehendak Allah yang dikaitkan dengan perbuatan hamba. Mereka membatasi persoalan perbuatan manusia dalam hubungannya dengan bagaimana manusia mewujudkan perbuatan itu dan bagaimana dia dapat menolaknya ketika perbuatan itu terjadi.
Mereka tidak memperhatikan adanya hubungan perbuatan manusia dengan pahala dan siksa. Jika mereka memperhatikan hal itu dan memasukkannya dalam cakupan keimanan, niscaya Jabariyah tidak akan punya pendapat seperti itu. Ringkasnya, Allah Swt. tidak berlaku adil apabila Dia membagi manusia secara paksa, ada yang masuk surga dan ada yang ke neraka. Sehubungan dengan ini manusia menurut mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatannya.
Begitupun Mu’tazilah tidak akan berpendapat seperti itu, yang intinya adalah mereka telah menghilangkan dan mengingkari banyak nas syariat yang menetapkan bahwa manusia tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya dan perbuatan yang menimpanya. Pada dasarnya manusia tidak bisa mencegah ada atau tidaknya perbuatan tersebut.
Demikian pula Ahlus Sunnah tidak akan berpendapat seperti yang mereka katakan, yang intinya adalah mereka memperhatikan pendapat-pendapat dari dua kelompok sebelumnya, kemudian mereka menolaknya. Namun, penolakannya tidak menggunakan pendapat yang berbeda ataupun dalil, tetapi menggabungkan pendapat Mu’tazilah dan Jabariyah. Sementara itu, yang wajib bagi mereka adalah memberi batasan dasar persoalan Qadha dan Qadar sebagai patokan.
Tanya: Bukankah asas masalah yang diajukan oleh ketiga kelompok itu adalah tanggung jawab manusia terhadap perbuatan-perbuatannya?
Jawab: Asas masalah yang dibicarakan ketiga kelompok ini adalah tanggung jawab manusia dalam menciptakan dan mengadakan perbuatan bukan pahala dan siksa atas perbuatan. Seandainya mereka memperhatikan asas ini, niscaya mereka tidak berpendapat demikian.
Tanya: Mereka mengatakan akan ada perhitungan dan pertanggung jawaban manusia saat menciptakan perbuatan, bukankah ini berarti ada pahala dan siksa?
Jawab: Kita kesampingkan dulu pendapat Jabariyah karena mereka tidak mengenal adanya perhitungan, selama manusia dalam keadaan dipaksa untuk melakukan perbuatan dan tidak punya iradah. Kita lihat pendapat dua kelompok lainnya, mereka mengisyaratkan adanya perhitungan, namun tidak dijadikan asas pembahasan masalah ini. Asas yang mereka buat adalah tanggung jawab manusia dalam melakukan atau tidak melakukan perbuatan. Jadi, isyarat adanya perhitungan merupakan kesimpulan saja, bukan menjadi asas masalah.
Tanya: Apa perbedaan antara perbuatan yang dilakukan manusia karena keinginannya dengan perbuatan yang manusia hanya terlibat di dalamnya?
Jawab: Perbuatan yang dilakukan sendiri oleh manusia adalah perbuatan yang murni sesuai dengan kehendak dan pilihannya. Adapun perbuatan yang manusia hanya terlibat di dalamnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh yang lain. Manusia tidak turut campur tangan dalam pelaksanaannya, tetapi terjadi keinginan yang sama antara dia dengan yang lain untuk melakukan perbuatan itu.
Tanya: Mengapa ada pendapat yang mengatakan bahwa ada campur tangan dalam keinginan manusia?
Jawab: Orang yang berpendapat seperti itu mengatakan atau menggambarkan adanya campur tangan faktor luar dalam keinginan manusia karena posisi manusia sebagai makhluk, seperti yang dikatakan kelompok Jabariyah.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan Nizhâm al-Wujûd?
Jawab: Nizhâm al-Wujûd adalah aturan yang dibuat Pencipta untuk makhluk-makhluknya, yaitu untuk alam semesta, manusia, dan kehidupan. Allah Swt. menciptakan mereka dan membuatkan aturan yang harus dijalankan tanpa ada penyimpangan. Contohnya, semua bintang berjalan pada orbitnya masing-masing yang telah ditentukan mengikuti hukum alam.
Selain itu, misalnya setiap benda yang ada di alam ini memiliki karakteristik yang khas dan berbeda satu dengan yang lain. Begitu pula manusia diciptakan Allah Swt. dengan bentuk fisik dan anggota tubuhnya yang masing-masing telah diberi aturan tertentu sesuai dengan hukum alam. Allah Swt. menciptakan kehidupan pada makhluk dengan memberinya ruh, serta hidup matinya makhluk bergantung pada adanya ruh ini.
Allah Swt. telah menentukan pengaturan pada makhluk sehingga tumbuh sempurna dan menjadi matang selama ruh tetap ada padanya. Makhluk ini akan mati dan hancur karena kepergian ruh, sebagaimana dia dapat bergerak dengan batas yang telah ditentukan selama masih hidup. Itulah makna Wujud (yang ada) yaitu, alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta seperti itulah Nidzam (aturan) yang ditentukan baginya.
Tanya: Mengapa saat menjelaskan persoalan ini, pembicaran dibatasi pada manusia saja dan melewatkan makhluk hidup lainnya?
Jawab: Karena manusia adalah makhluk hidup yang paling sempurna, sebagaimana firman Allah Swt.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS at-Tin [95]: 4).
Ayat ini menggambarkan realitas yang ada.
Tanya: Apabila mungkin bagi manusia untuk melawan gaya gravitasi, kemudian dia dapat terbang di angkasa dengan pesawat, mengapa kita menganggap Nizhâm al-Wujûd pada sisi ini sebagai sesuatu yang mengikat?
Jawab: Maksud dari ucapan bahwa manusia itu diatur dan dipaksa atas perbuatannya dalam lingkaran Nizhâm al-Wujûd adalah bahwa manusia dengan tubuhnya dipaksa untuk berjalan di atas bumi dan tidak bisa terbang, namun jika dia terbang menggunakan pesawat, maka dia telah mengambil sisi lain yang bukan masuk dalam Nizhâm al-Wujûd. Akan tetapi, termasuk perbuatan yang dilakukan manusia di alam ini, yaitu terbang bukan dengan tubuhnya sendiri, melainkan dengan pesawat. Dia melakukan hal itu tanpa paksaan, tetapi karena keinginan yang ada pada dirinya.
Tanya: Apa maksud dari tidak adanya peranan manusia pada saat kedatangannya di dunia (lahir) dan kepergiannya (wafat)?
Jawab: Kelahiran dan kematian adalah aktivitas yang tidak ada campur tangan manusia di dalamnya. Keduanya adalah Qadha yang berlaku baginya.
Tanya: Mengapa perintah Allah Swt. dalam mewujudkan perbuatan dibatasi pada Qadha saja, padahal setiap perbuatan itu tidak keluar dari perintah Allah Swt?
Jawab: Perbuatan Qadha diberi nama demikian karena tidak ada campur tangan dari kehendak atau keinginan manusia. Adapun perbuatan yang diinginkan manusia terjadi karena peranan manusia dan kehendaknya, dalam hal ini tidak ada paksaan dari Allah Swt.
Tanya: Apakah itu berarti adanya atau terjadinya perbuatan baik dan buruk itu dari Allah Swt?
Jawab: Benar. Selama penafsiran manusia terhadap baik dan buruk itu sesuai kondisi yang menimpanya berupa manfaat dan mudharat. Sementara itu, apakah penafsiran ini benar atau salah, maka hal itu mengikuti Allah Swt. yang telah mengadakan dan menjadikan perbuatan ketika perbuatan itu termasuk ke dalam Qadha dan Qadar. Berarti pula Allah Swt. mengizinkan hal itu tanpa merampas iradah manusia ketika perbuatan itu termasuk yang dikuasai manusia. Allah Swt. Berfirman:
Karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS an-Nisa’ [4]: 19).
Tanya: Apa makna iman terhadap Qadha?
Jawab: Seorang Muslim harus mengimani semua perbuatan yang menimpanya bahwa itu semua dari Allah Swt. Dalam menjalaninya, dia bersabar dan mengintrospeksi diri terhadap manfaat dan mudharat yang menimpanya sebagai ketaatan terhadap firman Allah Swt.:
Janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. (QS Fathir [35]: 8).
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang telah diberikan-Nya kepadamu. (QS al-Hadid [57]: 23).
Tanya: Mengapa perbuatan yang tidak dikuasai manusia dibagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang termasuk Nizhâm al-Wujûd dan bukan. Padahal, semua perbuatan manusia itu terjadi di dunia?
Jawab: Memang benar, perbuatan manusia itu semuanya terjadi di dunia, tetapi hal itu sesuai dengan tabiatnya masing-masing. Karena itu, harus ada pembagian karena beberapa perbuatan yang dikehendaki Allah Swt., seperti perbuatan yang termasuk Nizhâm al-Wujûd berbeda dengan perbuatan yang tidak tunduk terhadap Nizhâm al-Wujûd.
Tanya: Mungkinkah menjelaskan benang merah yang menghubungkan antara iradah Allah dan Qadha?
Jawab: Iradah Allah Swt. berarti tidak ada suatu benda pun di dunia ini dan juga tidak ada satu perbuatan pun yang terjadi yang jauh atau dekat bertentangan dengan keinginan dan kehendak-Nya. Hal ini berarti bahwa Allah Swt. berkuasa untuk campur tangan dalam sekejap, dalam mencegah ataupun mewujudkan suatu benda dan perbuatan.
Adapun Qadha adalah peranan atau campur tangan yang nyata dari keinginan dan kehendak Allah Swt., ketika Allah Swt. mengadakan suatu benda dan perbuatan. Dari sini, jelas benang merah antara iradah dan qadha Allah Swt. adalah adanya sifat iradah pada-Nya. Dia tidak akan berhenti untuk campur tangan dalam mewujudkan satu benda dan juga perbuatan.
Pemaparan 2
Pembahasan pada masalah Qadha, yaitu semua perbuatan yang termasuk Nizhâm al-Wujûd atau bukan, yang terjadi dan menimpa manusia tanpa ada peranan manusia di dalamnya, serta tidak ada keinginan manusia untuk membuat dan menolaknya. Dalam perbuatan seperti ini manusialah yang dikendalikan.
Sekarang kita akan membahas tentang Qadar. Saat kita memperhatikan perbuatan yang telah diputuskan oleh Allah Swt. atau perbuatan yang mengendalikan dan menguasai manusia, kita melihat bahwa semuanya terjadi dari benda ke benda. Kita memahami bahwa perbuatan itu bersifat fisik, jadi termasuk materi atau benda. Begitu pula aturan umum yang telah Allah Swt. ciptakan pada makhluk untuk mengokohkan keberadaan benda dan perbuatan adalah materi pula. Jika demikian, apa sebenarnya benda atau materi itu?
Dengan pengamatan yang dalam, kita dapati setiap benda mempunyai ciri khas tertentu (spesifik) yang berbeda di antara benda-benda. Ciri khas inilah yang mendorong benda untuk mewujudkan perbuatan. Dalam hal ini Allahlah yang telah menciptakan Nizhâm al-Wujûd dan ciri khas yang ada pada setiap benda. Ciri khas ini dinamakan khasiat. Misalnya, khasiat membakar terdapat pada api, khasiat terbakar pada kayu, serta khasiat memotong pada pisau dan terpotong pada daging. Semuanya diciptakan Allah Swt. sesuai dengan Nizhâm al-Wujûd dan mengikat benda tanpa bisa menyimpang darinya.
Seandainya terjadi penyimpangan dan keluar dari kebiasaannya, pasti ada campur tangan Pencipta yang Maha Mengatur. Hal ini seperti yang terjadi pada mukjizat para nabi. Api yang tidak bisa membakar Nabi Ibrahim as merupakan salah satu contohnya. Jika tidak ada campur tangan Allah Swt., tidak akan terjadi hal yang demikian. Allah Swt. Berfirman:
Wahai api dinginlah, dan keselamatan bagi Ibrahim. (QS al-Anbiya’ [21]: 69).
Begitu pula dengan kisah Nabi Musa as dengan mukjizat tongkatnya yang membelah laut Merah hingga air itu terbelah dan seolah-olah membeku, padahal khasiat air adalah mengalir:
Lalu, Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka itu, terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan seperti gunung yang besar. (QS asy-Syu‘ara’ [26]: 63).
Hal ini tidak ada bedanya dengan khasiat yang Allah Swt. ciptakan pada manusia. Allah Swt. menciptakan otak, naluri, dan kebutuhan jasmani pada manusia dan masing-masing diberi khasiat tertentu. Khasiat ini senantiasa terikat dengan materinya sesuai dengan Nizhâm al-Wujûd. Misalnya, otak manusia punya khasiat untuk berpikir, naluri seks punya khasiat kecenderungan seksual, dan naluri baqa’ punya khasiat cinta materi. Selain itu, naluri beragama diberi khasiat kecenderungan untuk menyembah dan mengagungkan sesuatu.
Setiap khasiat penampakannya berbeda-beda karena punya peranan yang berbeda-beda. Semua khasiat ini yang menciptakan adalah Allah Swt., serta Dialah yang menentukan keistimewaannya masing-masing, tidak ada peranan manusia di dalamnya. Adapun yang diperintahkan kepada seorang Muslim terhadap hal ini adalah membenarkan dan meyakini dengan penuh keikhlasan bahwa hanya Allah Swt. semata yang telah menentukan khasiat pada segala sesuatu tanpa ada campur tangan manusia.
Sejauh mana khasiat ini mengharuskan manusia untuk melakukan satu perbuatan? Dalam arti, apakah merupakan tabiat khasiat memaksa manusia melakukan perbuatan tertentu sehingga manusia itu dikendalikan olehnya dan tidak bisa memilih?
Allah Swt. Berfirman:
Jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS asy-Syams [91]: 7-10).
Saat membaca firman Allah di atas kita memahami bahwa al-Khaliq al-Mudabbir, Allah Swt. ketika menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya. Allah Swt. mengilhamkan—yaitu Allah Swt. ciptakan kekuasaan untuk melakukan—kefasikan dan ketakwaan kepada manusia.
Allah Swt. dengan pengaturannya yang bijak menciptakan khasiat dalam naluri beragama yang mampu mendorong manusia untuk berbuat kefasikan dan kemaksiatan terhadap-Nya. Kemudian, manusia melakukan perbuatan buruk atau manusia terdorong berbuat takwa dan menaati aturan Allah Swt. Allah Swt. tidak memberi ilham pada jiwa manusia dengan mencabut kemampuan memilih antara yang baik dan buruk, namun Allah menyimpannya dalam naluri. Oleh karena itu, kita dapati manusia memikul tanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Dia akan menjadi orang yang beruntung dengan melakukan perbuatan baik dan akan merugi dengan perbuatan buruknya.
Di dalam khasiat yang telah Allah Swt. ciptakan, terdapat potensi (qabiliah) untuk mendorong manusia melakukan perbuatan sesuai dengan perintah Allah Swt. atau melanggar perintah-Nya tanpa ada paksaan. Khasiat hanya mendorong manusia untuk menggunakan sesuatu tempat khasiat berada dan tidak mengharuskan manusia berbuat apa pun Peranan khasiat dalam hal ini terbatas pada mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhannya, tidak lebih dari itu.
Benar, bahwa khasiat itu selalu melekat di dalam materi, baik berupa benda, naluri, maupun kebutuhan jasmani manusia, dan manusia tidak akan bisa lepas darinya. Pengaruh khasiat tampak jelas pada hasil perbuatan manusia. Namun, khasiat selamanya tetap tunduk di tangan manusia untuk digunakan setiap saat diinginkan. Manusialah yang mewujudkan perbuatan itu dan dia juga yang menahan untuk tidak melakukannya.
Dalam naluri seks terdapat kecenderungan seksual, naluri tersebut tidak memaksa manusia untuk memenuhinya hanya dengan satu cara. Sehubungan hal ini dalam kecenderungan itu ada potensi untuk memenuhi kebutuhan naluri dengan beberapa cara. Artinya ada potensi yang memberi keleluasaan kepada manusia untuk menggunakan berbagai pilihan.
Begitulah kecenderungan yang senantiasa menyertai naluri, tetapi tidak mendorong manusia memenuhi kebutuhannya dan tidak memaksa pemilik naluri untuk memenuhi sesuai perintah Allah Swt. atau tidak. Manusia mempunyai naluri sebagai potensi hidupnya disertai dengan khasiat yang punya potensi untuk mendorong. Jadi, manusialah yang memunculkan perbuatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan baik ataupun buruk.
Bagaimana perbuatan ini mengambil cara yang baik dan buruk saat memenuhi kebutuhan naluri? Sesungguhnya Allah Swt. telah menciptakan khasiat kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan naluri, serta pada kecenderungan ini Allah Swt. ciptakan pula potensi untuk memenuhinya dengan cara yang baik atau buruk. Allah Swt. menciptakan akal manusia dengan khasiat membedakan dan memahami sesuatu. Allah Swt. Berfirman:
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS al-Balad [90]: 10).
Maksudnya, akal memiliki kemampuan memahami jalan yang baik dan yang buruk. Saat naluri dan kebutuhan jasmani menuntut pemenuhan, akal akan membimbingnya untuk membedakan antara baik dan buruk, serta mengatur dan mengarahkan pemenuhan.
Apabila si pemilik naluri ini mengambil Akidah Islam dan akidah ini memiliki standar halal dan haram, maka dia akan memenuhi kebutuhannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah Swt. Jika dia mengambil akidah lain, maka pemenuhannya sesuai dengan pandangan akidah tersebut. Pemilik akallah yang mewujudkan perbuatan untuk memenuhi kebutuhan dengan sesuatu yang halal atau haram sesuai dengan pilihan akalnya.
Perbuatan mengambil apa yang diyakini oleh akal adalah perbuatan yang dilakukan manusia karena keinginan dan pilihannya, kemudian dia jadikan apa yang diyakininya itu sebagai pengatur dan pengarah ketika memenuhi kebutuhan. Kemampuan membedakan yang baik dan buruk ini adalah khasiat akal yang telah ditentukan baginya. Akan tetapi, perbuatan baik dan buruk ditentukan oleh si pemilik akal. Khasiat hanyalah penolong baginya untuk mengetahui jalan dan pilihan yang tersedia banyak di hadapannya.
Apa peranan perasaan pada pengaturan dan pengarahan naluri? Perasaan itu adalah kecenderungan (tendensi) dan pendorong (motivasi). Sesuai dengan fitrahnya, perasaan diarahkan oleh Pencipta agar manusia menggabungkannya dengan keyakinan yang ada pada akal. Pada saat manusia memenuhi tuntutan fitrah, dia membentuk perasaannya dengan akidah yang sahih—maka saat itu terbentuk perasaan Islami—atau dengan akidah selain Islam. Kemudian, perasaan ini akan mengkristal dan membentuk jiwa pemiliknya. Dengan demikian, seseorang mempunyai sifat tertentu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh ikatan antara pemahaman yang diyakininya dengan kecenderungan naluri dan jasmaninya.
Diskusi
Tanya: Seperti apa pemahaman tentang Qadha?
Jawab: Qadha kata yang disertai dengan Qadar ataupun terpisah, dalam pembahasan Akidah Islam saat ini adalah sesuatu yang berbeda dengan makna bahasa dan makna syar’inya. Kata Qadha mempunyai arti perbuatan yang terjadi dari manusia ataupun yang menimpa manusia tanpa kehendak dan pilihannya, baik perbuatan itu termasuk dalam Nizhâm al-Wujûd maupun tidak.
Tanya: Apa maksud bahwa manusia tidak mampu menghindari Qadha?
Jawab: Ketika perbuatan Qadha menghampiri dan menimpa manusia, manusia tidak kuasa untuk menolaknya.
Tanya: Adakah perbedaan antara mempunyai kekuasaan dan mempunyai pilihan untuk menolak satu perbuatan?
Jawab: Ada, kekuasaan untuk menolak ini diartikan bahwa manusia yang tertimpa satu perbuatan mampu menolaknya. Sementara itu, mempunyai pilihan untuk menolak berarti ada peluang memilih untuk menolak atau tidak. Karena itu, sesungguhnya manusia mampu untuk menolaknya, tetapi dia tidak mempunyai kekuasaan untuk menolaknya. Ini adalah dua hal yang berbeda.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan kata ‘materi’ ketika dikaitkan dengan suatu benda dalam pembahasan ini?
Jawab: Materi adalah seluruh potensi, baik yang tampak dan bisa diindra, serta dirasakan maupun yang tersembunyi, tetapi kita mengetahui adanya dari dampak yang ditimbulkannya, seperti angin, gaya magnetis, dan uap.
Tanya: Apakah setiap benda hanya mempunyai satu khasiat, dan mungkinkah satu benda mempunyai beberapa khasiat?
Jawab: Mungkin saja satu benda punya beberapa khasiat. Seperti air, khasiatnya mengalir (berbentuk cairan), menguap, dan membeku pada derajatnya masing-masing. Setiap khasiat penampakannya berbeda. Khasiat cair tampak saat air mengalir pelan atau cepat sesuai dengan pusarannya. Hal itu tampak pula saat air bercampur dengan materi lain dan saat air mengalir di celah-celah sempit.
Tanya: Di mana unsur ruhani, jika semua perbuatan manusia itu berupa materi?
Jawab: Aspek ruhani pada perbuatan adalah sesuatu yang lain, serta tabiat perbuatan itu sendiri adalah sesuatu yang lain pula. Perbuatan apa pun yang terjadi antara dua materi di dunia ini adalah berupa materi pula. Saat manusia memperhatikan halal dan haram, maka dia telah memperhatikan aspek ruhani yang ada dalam materi yang merupakan ciptaan Allah Swt.
Allah Swt. memerintahkan agar manusia menggunakan aspek ruhani ini dalam perbuatannya. Inilah yang dinamakan ‘perpaduan materi dengan ruh’ (mazj al-mâdah bi ar-rûh) yang artinya perbuatan itu dikendalikan dan diarahkan oleh aspek ruhani. Perbuatan itu adalah materi, penggunaan aspek ruhani adalah ruh. Jadi, tidak ada yang dinamakan dengan perbuatan ruh, yang ada hanyalah perbuatan (yaitu tabiat perbuatan) yang dipadukan dengan ruh (yaitu keinginan yang kuat untuk memperhatikan aspek ruhani).
Tanya: Selama khasiat tetap ada dalam materi dan tidak akan lepas, mengapa hal tersebut tidak kita namakan dengan Qadar yang bersifat memaksa?
Jawab: Apabila khasiat dikatakan seperti Qadar yang memaksa kita untuk menggunakan suatu materi sesuai dengan khasiatnya, maka itu benar. Namun, tidak ada yang memaksa kita untuk menggunakan khasiat ini pada perbuatan halal atau haram. Akan tetapi, akallah yang membedakan mana yang haram atau halal. Contohnya, ketika kita menggunakan khasiat memotong yang ada pada sebilah pedang untuk perbuatan baik, seperti membunuh musuh atau dalam perbuatan buruk, seperti membunuh orang yang bukan musuh, maka semua itu adalah kehendak kita bukan karena paksaan dari khasiat. Dalam hal ini, kita semata-mata menggunakan sesuatu yang ditetapkan di dalam khasiat.
Tanya: Mengapa tidak kita katakan khasiat yang ada pada naluri dan kebutuhan jasmani adalah Qadar yang bersifat memaksa?
Jawab: Khasiat yang ada pada naluri dan kebutuhan jasmani tidak mengharuskan manusia untuk menggunakannya hanya dengan satu cara saja, namun khasiat ini membiarkan manusia memilih bentuk atau cara penggunaannya. Naluri beragama misalnya, khasiatnya tidak memaksa manusia untuk menyembah sesuatu, tetapi hanya mendorongnya untuk beribadah. Manusialah yang menentukan apa yang akan disembahnya, serta bagaimana caranya berdasarkan pilihannya. Tidak ada paksaan apa pun dalam cara penggunaan khasiat.
Tanya: Apakah di dalam naluri dan kebutuhan jasmani terdapat banyak khasiat atau hanya satu saja?
Jawab: Naluri dan kebutuhan jasmani masing-masing punya banyak khasiat. Naluri beragama, di antara khasiatnya adalah keinginan untuk menyembah, menyucikan, mengagungkan, dan takut pada sesuatu yang diagungkannya. Ini merupakan gabungan dari dua khasiat yaitu takut dan harap. Allah Swt. berfirman:
Sementara itu, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap. (QS as-Sajdah [32]: 16).
Naluri seks dengan khasiat kecenderungan seksual antara laki-laki dan wanita—yang dengan ini muncul pernikahan, serta khasiat perasaan keibuan dan kebapakan yang melahirkan kasih sayang dalam keluarga. Naluri baqa’ (mempertahankan diri), di antara khasiatnya adalah cinta pada diri sendiri ketika manusia akan mempertahankan jiwanya saat menghadapi bahaya dan khasiat suka pada harta—dengan segala jenisnya—yang dengan ini manusia terdorong untuk berusaha mencari harta hingga akhir hayatnya.
Selain itu, khasiat cinta tanah air, penampakannya adalah manusia mencintai akan tanah kelahirannya atau tempat tinggalnya dan akan membela tanah air itu dari musuh yang akan merampasnya. Termasuk naluri baqa’ pula ketika manusia membutuhkan makanan dan minuman untuk mempertahankan dirinya.
Tanya: Mengapa pada pemaparan sebelumnya disebutkan bahwa setiap naluri dan anggota tubuh itu punya satu khasiat?
Jawab: Pemaparan itu berkaitan dengan penyebutan bukan pembatasan. Penyebutan itu digunakan pada khasiat yang paling menonjol dari setiap potensi kehidupan.
Tanya: Apakah benda mati mempunyai banyak khasiat, seperti pada naluri dan kebutuhan jasmani?
Jawab: Benar. Besi misalnya, pada derajat panas tertentu akan membeku dan akan meleleh pada derajat yang lain. Besi hanya bisa dilebur dengan materi tertentu untuk membentuk materi baru yang punya khasiat berbeda dengan sebelumnya.
Tanya: Apakah pada otak manusia hanya ada khasiat berpikir saja?
Jawab: Tidak. Otak bisa berpikir ketika unsur-unsurnya lengkap. Khasiat otak sebagai pusat syaraf pengindraan untuk menerima dan mengarahkan alat indra, perasaan, dan gerak dengan syaraf yang terpisah satu sama lain. Karena itu, apabila unsur-unsur otak tidak berfungsi, maka otak tidak bisa berpikir.
Tanya: Apakah Qadar dalam pembahasan ini punya arti sama dengan makna bahasa dan makna syar‘i-nya?
Jawab: Tidak sama. Qadar di sini berarti khasiat yang ada pada benda hidup dan benda mati yang Allah Swt. ciptakan untuk menjalankan tugasnya masing-masing.
Tanya: Apakah kita bisa membedakan antara ilham dengan hidayah, ataukah keduanya sama?
Jawab: Sudah pasti keduanya berbeda. Ilham yang ada pada jiwa adalah khasiat yang telah Allah Swt. ciptakan agar manusia bisa membedakan antara kefasikan dan ketakwaan atau antara yang baik dan buruk. Tempat untuk membedakan itu adalah pada otak. Memang benar, emosi dan suara hati itu fitrah pada diri manusia, namun fitrah ini tidak bisa memberikan khasiat membedakan (khasiat tamyîz). Ini dihubungkan dengan tamyîz yang ada pada akal.
Dalam kaitannya dengan hidayah, Allah Swt. berfirman:
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS al-Balad [90]:10).
Sungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS al-Insan [76]:3).
Hidayah telah ada pada manusia ketika Allah Swt. menurunkan hidayah ini pada rasul-rasul-Nya dan pada rasul penutup, yaitu Muhammad saw.
Rasul Muhammad saw. menjelaskan pada manusia tentang jalan kebaikan dan keburukan. Jalan kebaikan adalah taat pada perintah Allah Swt. dan larangan-Nya, sedangkan keburukan adalah melanggar perintah dan larangan-Nya. Jadi, hidayah itu sudah diturunkan, sedangkan ilham sesuatu yang disimpan dalam jiwa manusia. Andaikan hidayah belum diturunkan, penggunaan ilham tidak akan berjalan baik. Seandainya tidak ada ilham, tidak mungkin manusia mengetahui hidayah.
Tanya: Apakah dorongan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani terpisah dari khasiat akal saat perbuatan dilakukan?
Jawab: Kadang terpisah kadang tidak. Hal ini mengikuti sejauh mana kecenderungan pada naluri dan kebutuhan jasmani itu dibuat terkait dengan pemikiran, pemahaman, standar, dan aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh akal setelah selesai proses tamyîz dan ada pemahaman sebelumnya. Kemudian, penetapan dan pelaksanaan proses tamyîz bertambah sedikit demi sedikit.
Tanya: Jika demikian, lalu apa maksud ayat berikut:
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaanny.” (QS asy-Syams [91]: 8)?
Jawab: Ilham dalam ayat tersebut termasuk kemampuan yang disimpan oleh Allah Swt. pada jiwa manusia, jadi merupakan khasiat, yaitu kemampuan untuk melakukan amal yang baik dan buruk tanpa ada paksaan.
Tanya: Bagaimana naluri menjalankan fungsinya dalam kehidupan ini?
Jawab: Naluri mendorong pemiliknya untuk memenuhi tuntutan kebutuhannya. Contoh, ketika naluri beragama terangsang dengan pemikiran tentang keagungan Sang Pencipta yang wajib disembah, maka naluri ini cenderung untuk menyembah-Nya dan mendorong si pemiliknya untuk beribadah. Sementara itu, si pemilik naluri ini akan menentukan—dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh akalnya berupa keyakinan—jenis dan bentuk pemenuhannya.
Naluri baqa’ ketika terangsang dengan ancaman, maka dia terdorong untuk mempertahankan dirinya, kemudian mendorong si pemilik naluri untuk waspada dan berikutnya akan diambil sikap sesuai dengan keyakinan yang diakui oleh akalnya. Adapun naluri seksual, ketika terangsang, baik karena kebutuhan seksual maupun karena rasa sayang, serta juga oleh rangsangan gambar atau khayalan, maka dia akan mendorong manusia untuk memenuhinya sesuai dengan keyakinannya.
Tanya: Jika demikian, di mana letak kebaikan dan keburukan, halal dan haram dalam penggunaan naluri?
Jawab: Baik dan halal ada pada saat keimanan campur tangan dalam diri si pemilik naluri. Jika keimanannya dan pemikirannya Islam, seseorang akan mengarahkan pemenuhan kebutuhannya sesuai dengan Islam. Buruk dan haram ada pada saat keimanan seseorang bukan pada Islam atau keimanan terhadap Islamnya lemah, serta tidak punya kekuatan untuk mengatur dan mengarahkan pemenuhan kebutuhan.
Karena itu, keimanan membutuhkan perhatian dan bantuan yang terus menerus supaya tidak lemah dan jatuh. Bagaimana tidak demikian, karena manusia mengatur perilakunya dengan keimanan. Di samping itu, keimanan ini harus senantiasa konsisten. Untuk itu, si pemilik naluri sangat memerlukan perhatian dan bantuan. Jika tidak, maka apalah artinya firman Allah Swt.:
Oleh sebab itu, berikanlah peringatan karena bermanfaat. (QS al-A‘la [87]: 9).
Ini peringatan yang ditujukan pada orang yang melalaikan keimanan.
Selain itu, Allah Swt. berfirman:
Tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (QS adz-Dzariyat [51]: 55).
Ini bagi orang ini telah mengakui kebaikan, namun dia tidak berupaya menambahnya sehingga perlu diberikan peringatan.
Pemaparan 3
Kita telah membahas peranan perasaan dalam memunculkan perbuatan pada manusia, ketika perasaan ini merupakan khasiat yang telah ditentukan dan tidak akan terpisah. Namun, peranan khasiat ini hanya mendorong satu perbuatan dan tidak memaksa manusia untuk memenuhi atau tidak memenuhi dorongan tersebut, dengan cara begini dan begitu. Ada satu hal yang menuntun kita untuk membicarakan batasan tanggung jawab terhadap hal di atas, yaitu apakah tanggung jawab untuk mewujudkan kecenderungan ini ada pada manusia? Ataukah tanggung jawab dan muhasabah ini ada untuk memunculkan perbuatan sebagai jawaban dari kecenderungan itu?
Telah jelas bagi kita bahwa kecenderungan dan eksistensinya yang senantiasa ada pada semua naluri atau kebutuhan jasmani merupakan Qadar. Ini berarti Allah Swt. sajalah yang menciptakannya pada diri manusia dan manusia tidak berperan di dalamnya. Berikutnya, tidak ada hisab dan pertanggungjawaban terhadap adanya kecenderungan ini bagi manusia mana pun karena semua itu berjalan dengan hikmah Allah Swt. semata, yaitu adanya pengaturan dari Pencipta atas makhluk-Nya.
Allah Swt. berfirman:
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. (QS al-Anbiya’ [21]: 23).
Pertanggungjawaban bagi manusia terbatas pada melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan. Allah Swt. berfirman:
Siapa saja mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Siapa saja yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QSurat az-Zalzalah [99]: 7-8).
Ketika Allah Swt. menciptakan naluri, kebutuhan jasmani, dan benda, Allah Swt. tetapkan khasiatnya masing-masing supaya mereka dapat menjalankan peranannya dalam kehidupan ini berdasarkan apa yang telah ditetapkan baginya. Jadi, semuanya tetap sebagai potensi tersimpan yang siap digunakan saat diperlukan.
Ketika Allah Swt. menciptakan manusia, diciptakan pula baginya naluri, kebutuhan jasmani, dan akal yang punya khasiat tamyîz. Akal diberi kemampuan untuk memilih antara mengerjakan satu perbuatan atau tidak. Tidak ada pada diri manusia hal apa pun yang mengharuskan dia melakukan atau meninggalkan perbuatan, tidak ada pada naluri atau kebutuhan jasmani dan juga khasiat.
Dari sinilah, manusia mempunyai pilihan sempurna antara melakukan perbuatan atau menjauhinya. Semua ini karena peranan khasiat akal, yaitu tamyîz yang telah Allah Swt. anugerahkan dan tetapkan pada akal manusia. Selanjutnya, manusia memikul tanggung jawab dan hisab pada saat khasiat itu telah ada. Artinya, Allah Swt. telah mempersiapkan pahala untuk perbuatan baik yang dilakukan manusia karena akalnya telah memilih demikian dalam rangka melaksanakan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya. Begitu pula Allah Swt. telah mempersiapkan siksa untuk perbuatan buruk yang dilakukan manusia karena akalnya memilih hal itu sebagai pengingkaran terhadap perintah-Nya, dan dia memenuhi tuntutan naluri dan kebutuhan jasmani dengan cara yang dilarang Allah Swt.
Setelah jelas bagi kita tentang peranan naluri, kebutuhan jasmani, dan benda dalam memunculkan perbuatan dengan pilihan manusia dalam menggunakan khasiat tamyîz yang dianugerahkan kepadanya, dari sini muncul pertanyaan tentang hubungan semua itu dengan masalah Qadha dan Qadar dari satu sisi, pengaruh ilmu Allah Swt., keinginan, dan kehendak-Nya dari sisi lain, serta apa pengaruhnya pada kehidupan manusia?
Hubungan naluri, kebutuhan jasmani, ataupun benda beserta khasiat yang ada di dalamnya dan juga akal dengan masalah Qadha dan Qadar adalah sebagai satu bagian dalam akidah dan keimanan seorang Muslim. Dalam hubungan ini, Allah Swt. telah menciptakan semuanya dan manusia tidak punya pengaruh dalam penciptaan ini. Dia wajib mengimaninya karena Allah Swt. berfirman:
Dia tidak akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat-Nya, tetapi merekalah yang akan ditanyai. (QS al-Anbiya’ [21]: 23).
Khasiat yang diciptakan pada semua makhluk merupakan Qadar yang tidak ada campur tangan manusia untuk mewujudkannya, namun pengaruhnya tampak dalam penggunaan khasiat ini dengan cara tertentu, yaitu dalam perbuatan. Perbuatan ini ada yang menguasai manusia tanpa ada kehendak manusia untuk mewujudkannya, baik yang termasuk Nizhâm al-Wujûd maupun bukan, dan perbuatan yang dikuasai (dapat dikendalikan) oleh manusia. Jika perbuatan itu menguasai manusia, maka termasuk Qadha. Demikian pula dengan Qadar, yaitu khasiat yang diciptakan pada benda, akal, dan naluri, serta pada kebutuhan jasmani.
Qadha adalah perbuatan-perbuatan yang masuk dalam Nizhâm al-Wujûd atau tidak yang terjadi dari manusia atau menimpa manusia di luar keinginannya. Qadar adalah segala sesuatu yang disediakan di alam ini untuk dipergunakan. Qadha mengharuskan manusia untuk menggunakan khasiat dengan arahan tertentu tanpa keinginan manusia dan tanpa bisa mengharap atau menolaknya. Dengan demikian, manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban dan tidak dihisab selama itu di luar keinginan dan pilihannya.
Adapun saat manusia menggunakan khasiat dengan keinginan dan pilihannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban dan akan dihisab sesuai dengan firman Allah Swt.:
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (QS al-Muddatstsir [74]: 38).
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS ath-Thur [52]:21).
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS al-Baqarah [2]: 286).
Dari uraian di atas, jelas sudah mengenai hubungan masalah Qadha dan Qadar dengan naluri, dan yang lainnya. Adapun hubungan antara ilmu Allah Swt., keinginan, serta kehendak-Nya dengan masalah Qadha dan Qadar, yaitu ilmu Allah Swt. yang diisyaratkan dalam sejumlah nas, hal itu merupakan cakupan penguasaan Allah Swt. yang mutlak terhadap dunia ini dan apa pun yang terjadi di dalamnya berupa perbuatan, baik yang diinginkan manusia maupun tidak.
Tidak ada kaitan ilmu ini dengan keberadaan sesuatu dari sisi bagaimana mengadakannya karena hal ini terkait dengan penciptaan Allah Swt. terhadap sesuatu itu. Keterkaitan ilmu Allah Swt. dari sisi sesuatu terhadap keberadaan, eksistensi, dan akan berakhir dengan bentuk begini atau begitu. Adapun keinginan dan kehendak Allah Swt. yang diisyaratkan dalam nas-nas lain berarti tidak ada sesuatu pun atau kejadian apa pun, serta tidak ada khasiat apa pun di dunia ini kecuali keberadaan atau terjadinya itu bukan karena paksaan dari Allah Swt., baik perbuatan itu termasuk Qadha dan Qadar maupun perbuatan yang lakukan manusia sesuai dengan keinginannya sendiri. Semua itu tidak ada kaitannya dengan iradah Allah Swt., tetapi termasuk dalam lingkup Qadha dan Qadar.
Selain itu, termasuk dalam pembahasan adanya perintah Allah Swt. bukan karena keinginan dan pilihan manusia. Adapun perbuatan yang diinginkan manusia tidak ada kaitannya dengan iradah Allah Swt. dan bukan karena paksaan-Nya karena iradah Allah Swt. bersifat mutlak tidak dicampuri dengan keinginan makhluknya, sebagaimana halnya qadha.
Iradah Allah Swt. tidak dapat mencegah perbuatan yang dikehendaki manusia atau memaksakan terjadinya perbuatan yang lain. Iradah Allah Swt. tidak turut mencampuri, namun membebaskan manusia melakukan perbuatan atau meninggalkannya. Manusia melakukan perbuatan karena keinginannya dan karena izin Allah Swt. Demikianlah hubungan antara Qadha dan Qadar dengan ilmu dan kehendak Allah Swt.
Adapun pengaruh pembahasan Qadha dan Qadar dalam kehidupan manusia akan tampak ketika manusia memahami dengan jelas hakikat benda berikut khasiat dengan berbagai jenisnya, serta segala sesuatu yang menimpa padanya. Lalu, manusia mengetahui apa yang wajib untuk diimani dan diyakini, serta apa yang wajib untuk diamalkan. Serta-merta dia melangkah dalam kehidupan ini tanpa takut untuk mengendalikan segala sesuatu dan mempergunakannya dengan cara yang diizinkan baginya.
Dengan kata lain, manusia bisa menyingkap apa pun yang memang diperbolehkan. Semuanya dilakukan sesuai dengan perintah dan larangan Allah Swt. tanpa kepasrahan terhadap perkara-perkara gaib dalam melakukannya. Dengan demikian, sampailah dia pada hasil dengan sebab musabab yang sejalan dengan hukum alam dan aturan yang telah Allah Swt. buat untuk alam semesta ini. Namun, semua itu bersandar pada kemampuan untuk memahami sesuatu dan khasiatnya yang telah Allah Swt. anugerahkan pada manusia.
Di samping itu, hendaknya manusia bertawakal kepada Allah Swt. karena kelemahan dirinya, serta dia selayaknya meminta agar diberi-Nya kekuatan untuk menambah pengetahuan tentang segala sesuatu. Selanjutnya, dia berharap dengan khasiat dan segala jenisnya tersebut bisa menambah pengembangan dan pembangunan di alam ini. Dari sini, jelas sudah kepentingan penjelasan masalah Qadha dan Qadar dalam kehidupan seorang Muslim karena dia akan menjadi subjek dengan kekuatan pendorong yang kuat, bukan sebagai orang yang malas dan selalu berpangku tangan.
Diskusi
Tanya: Dari mana datangnya keinginan manusia untuk melakukan perbuatan tertentu atau meninggalkan perbuatan tersebut?
Jawab: Kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan naluri dan kebutuhan jasmani mendorong manusia untuk melakukan perbuatan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Namun, kecenderungan ini tidak menentukan jenis perbuatan, kadarnya, ataupun waktunya. Kecenderungan semata-mata mendorong perbuatan untuk pemenuhan kebutuhan. Hal ini karena khasiat kecenderungan tidak terikat dengan perbuatan tertentu, tetapi bagi manusia banyak pilihan jenis perbuatan.
Sementara itu, memilih, bukan tabiat kecenderungan, tetapi tabiat akal. Tabiat akallah yang memberikan pilihan-pilihan dan menjelaskan perbedaan di antara pilihan tersebut. Kemudian, akal akan menentukan satu pilihan perbuatan yang akan dilakukan.
Dari sinilah, terbentuknya keinginan (iradah) manusia, yaitu dorongan kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan. Pemenuhan tersebut tanpa dibatasi perbuatan tertentu dan tanpa adanya campur tangan khasiat akal untuk menentukan jenis perbuatan dalam rangka mewujudkan pemenuhan itu.
Tanya: Jika demikian, berarti tidak ada hubungan antara keinginan manusia dengan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya?
Jawab: Hal ini benar dari sisi kecenderungan dan motivasinya. Akan tetapi, iradah itu tidak terbentuk dari itu saja karena sesungguhnya setelah kecenderungan dan motivasi tadi diarahkan oleh keimanan yang ada pada akal, manusia akan menggunakan kecenderungan tadi. Yaitu, ketika manusia memanfaatkan khasiat tamyîz dalam menentukan perbuatan mana yang akan dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan dan perbuatan mana yang akan ditinggalkannya.
Adapun yang menjadi pemeran utama dalam pembentukan iradah adalah pemenuhan itu sendiri. Namun, pemenuhan akan tetap tersimpan hingga suatu saat akan keluar pada tempat tertentu yang ditentukan oleh pemikiran dan keyakinan yang tersimpan dalam otak dan akal, ketika akal membedakan jenis perbuatan.
Tanya: Di mana hubungan perintah dan larangan Allah Swt. dalam masalah ini?
Jawab: Perintah dan larangan Allah Swt. itu adalah pemikiran, keyakinan, dan hukum-hukum yang tersimpan dalam otak di bawah tuntutan untuk menjalankan kepentingan akal dalam membedakan perbuatan yang mungkin dapat memenuhi dengan asas perintah dan larangan tersebut.
Kemudian, akal akan mengarahkan kecenderungan pada satu perbuatan yang juga ditentukan oleh pemikiran, keyakinan, dan hukum-hukum tadi. Jika terjadi yang sebaliknya, yaitu kecenderungan diarahkan pada perbuatan lain yang menyimpang dari pemikiran, keyakinan, dan hukum tadi itu, maka berarti kesalahan ada pada pengetahuan yang tersimpan dalam otak bukan pada kecenderungan.
Tanya: Jika demikian, mungkinkah terjadi penyelarasan antara pemikiran dan informasi yang ada pada otak dengan perbuatan yang muncul dari manusia ?
Jawab: Hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat informasi dan motivasi hanya terdiri dari satu jenis. Yaitu, dengan menjadikan informasi tadi sebagai pemahaman, standar, dan aturan pada diri seseorang. Kemudian, motivasi dikaitkan dan diarahkan secara sempurna dengan pemahaman dan standar tadi. Hal inilah yang disebut dengan kesatuan pemikiran dan perasaan, kesatuan akal dan jiwa, atau kesatuan kepribadian (wihdah asy-syakhshiyyah).
Tanya: Bagaimana menjelaskan Qadha dan Qadar dapat mendorong seorang Muslim untuk berbuat dan memberikan kemajuan dalam hidupnya?
Jawab: Ketika dia memahami bahwa Qadha dan Qadar bagian dari keimanan dan keyakinan dalam diri seorang Muslim. Perbuatan-perbuatan di luar Qadha yang dipadukan dengan Qadar akan memberikan pengaruh berupa bertambahnya aktivitas Muslim di seluruh lapangan kehidupan. Kemudian, seorang Muslim wajib meyakini bahwa dia memiliki iradah yang ditantang oleh khasiat-khasiat untuk melakukan penemuan baru secara terus-menerus.
ULASAN
Seperti apa gambaran Qadha dan Qadar dalam kehidupan seorang Muslim? Sesungguhnya masalah Qadha dan Qadar termasuk tulang punggung keimanan. Seorang Muslim ketika meyakini bahwa Allah Swt. adalah Pencipta dan Pengatur dirinya, maka dituntut untuk melihat seperti apa pengaturan tersebut. Lalu, sampai batas mana tanggung jawab manusia terhadap perbuatan yang dilakukannya dan pada perbuatan yang menimpanya dalam lingkaran pengaturan ini. Walhasil, jelaslah perbuatan mana yang menjadi haknya dan mana yang merupakan kewajibannya.
Telah jelas batas tanggung jawab manusia itu ada pada perbuatan yang berasal dari manusia atau yang dikehendakinya. Dia akan memikul hisab dan sanksi atas apa yang dilakukannya sesuai dengan pilihan dan keinginannya. Adapun perbuatan yang dia lakukan jika bukan karena kehendak dan pilihannya atau perbuatan yang menimpa dirinya tanpa diinginkan, maka itu tidak termasuk tanggung jawab manusia dan tidak akan dihisab karenanya.
Dengan demikian, dia akan merasa tenang terhadap Qadha yang telah Allah Swt. tetapkan bagi hamba-Nya dan juga terhadap Qadar yang Allah Swt. tentukan pada semua makhluk. Karena itu, jelas baginya mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak. Dia merasa tenang karena Allah Swt. adil dalam hisab dan balasannya.
Dari sini penting untuk menjelaskan peranan Iradah Allah, Keinginan dan Kehendak-Nya, Izin Allah, Ilmu Allah Swt., dan tulisan yang tercantum di Lauhul Mahfuzh dalam perbuatan manusia. Maksudnya, apakah perbuatan manusia itu dilakukan karena adanya hal-hal tersebut atau karena salah satu darinya, dalam arti lain apakah manusia harus melakukan perbuatannya atau meninggalkannya karena hal tadi?
Ilmu, Iradah, dan Kehendak Allah Swt. merupakan sifat-sifat-Nya dengan kesempurnaan mutlak. Tidak akan terjadi sesuatu, kecuali Dia akan mengetahuinya dan sesuatu itu terjadi karena Izin, Kehendak, atau karena Iradah-Nya. Namun, maksudnya segala sesuatu yang terjadi bukan karena paksaan dari-Nya karena Allah Swt. Mahakuasa dan kekuasaan-Nya ini mutlak untuk mencampuri terjadi atau tidaknya sesuatu. Ketika Allah membiarkan sesuatu itu terjadi, maka kejadian itu karena Iradah dan kehendak-Nya dalam lingkaran ilmu-Nya.
Allah Swt. menciptakan makhluk hidup atau benda mati, serta Dia mengatur keduanya dengan pengaturan yang khas. Adapun makhluk-makhluk ini menjalankan aktivitasnya dengan pengaturan Allah Swt. Ketika Allah Swt. membiarkan makhluk ini menjalankan aktivitasnya, maka itu termasuk ke dalam Iradah-Nya karena Dia memiliki kekuasaan untuk mencabut pengaturan tadi. Pengaturan ini bertabiat memaksa dan mengikat benda dan makhluk hidup selain manusia karena mereka tidak dikhususkan seperti manusia yang punya iradah sebagai makhluk yang berakal.
Manusia diberi iradah yang terbentuk dari keyakinan dalam akal dan perasaannya sehingga dia dapat mengatur dan menguasai perbuatan-perbuatan yang menjadi tanggung jawabnya. Manusia akan diberi pahala saat mengatur perbuatannya dengan perintah dan larangan Allah Swt. dan akan diberi sanksi saat dia mengarahkan perbuatannya tidak dengan perintah dan larangan Allah Swt.
Berdasarkan nas-nas syariat yang membicarakan ilmu Allah, Iradah, Kehendak, Izin, dan tulisan Allah di Lauhul Mahfuzh, tidak berarti manusia kehilangan iradahnya. Akan tetapi sebaliknya, iradah itu tetap ada pada manusia dan berakibat pada adanya pertanggungjawaban dan perhitungan. Allah Swt. berfirman:
Dia mendapat pahala dari (kebajikan) yang diusahakannya, dan dia mendapat balasan dari apa (kejahatan) yang dikerjakannya.(QS al-Baqarah [2]: 286).
Tuhanmu tidak berbuat aniaya pada siapa pun. (QS al-Kahfi [18]: 49).
Terjadinya serangan musuh-musuh Islam terhadap kaum Muslim menjadi bukti bahwa keyakinan terhadap Qadha dan Qadar pada mereka merupakan sebab utama berdiam dirinya dan ketertinggalan mereka dari umat yang lain. Karena itu, mereka harus melepaskan diri dari keyakinan ini agar terlepas dari keterbelakangan dan bisa berjalan menuju kebangkitan dan kemajuan.
Serangan ini bisa terbantahkan dengan jelasnya pemahaman tentang Qadha dan Qadar. Karena itu, seorang Muslim saat memahami dengan sempurna bahwa Allah Swt. telah menciptakan alam ini dan mengaturnya dengan aturan yang terperinci dan lengkap, dia akan melakukan perbuatan dengan mengaitkan sebab dan akibatnya. Dalam hal ini antara sebab dan akibat tidak akan pernah menyimpang, kecuali ada peranan Allah Swt. dalam hal itu, seperti pada mukjizat para nabi.
Adapun dalam kehidupan normal, sunnatullah berlaku, yaitu ada keterkaitan antara hasil dengan sebabnya (hubungan sebab akibat), misalnya tidak ada kemenangan dalam peperangan tanpa mempersiapkan fisik dan mental (ruhani). Selain itu, tidak ada keberhasilan dalam ujian tanpa belajar sungguh-sungguh, serta tidak akan sukses panen dengan hasil melimpah, kecuali dengan perhatian yang serius pada bidang pertanian. Keyakinan terhadap Qadha dan Qadar dapat membuka mata manusia bahwa lapangan kehidupan ini terbentang luas di hadapannya. Setiap kelalaian dalam mengambil sebab, berarti kemalasan dalam mencapai hasil.
Banyak bukti bagi kita dari kehidupan Rasul saw. mengenai hal ini; di antaranya turunnya pasukan pemanah dari bukit Uhud menjadi sebab kekalahan; berhentinya Rasul saw. dan tentaranya di mata air saat perang Badar untuk istirahat dan minum sehingga musuh tertahan menjadi salah satu faktor kemenangan; menggali parit di sekeliling Madinah menjadi faktor kemenangan; keinginan kuat dari Nabi saw. agar masuk Islam salah satu dari dua orang yang bernama Umar menjadi sebab kemenangan Islam; perginya Rasul saw. menemui para pemuka kabilah dan mendakwahi mereka menjadi salah satu sebab kemenangan; dan lain-lain.
Inilah Islam, Islam menghendaki pemahaman yang benar terhadap Qadha dan Qadar. Sikap berdiam diri dan berpangku tangan dengan alasan bahwa suatu keadaan telah diketahui Allah Swt. sejak azali atau karena Kehendak dan Izin Allah dianggap telah keluar dari Akidah Islam yang benar.
Cukup bagi kita dengan mengatakan seandainya kaum Muslim sejak masa Rasul saw., serta sepanjang masa kekhilafahan dan futuhat bersikap pasrah terhadap perkara gaib atau yang disebut dengan Qadriyah Ghaibiyah (fatalisme), niscaya futuhat kaum Muslim tidak akan terwujud dan Islam tidak akan menyebar ke seluruh penjuru bumi.
Wahai kaum Muslim bertakwalah kepada Allah Swt. dalam keyakinan, lepaskanlah aib dan kotoran yang ada. Ketahuilah bahwa Qadha dan Qadar Allah Swt. akan menguatkan kelemahan kalian. Bergeraklah kalian untuk memimpin kebangkitan umat Islam dan untuk menyelamatkan bangsa-bangsa yang ada di muka bumi. Janganlah kalian berlindung pada orang-orang zalim karena mereka telah mempersiapkan kegagalannya di dunia dan akhirat. Hanya Allah Swt. semata yang akan mewujudkan tujuan kalian selama kalian yakin akan firman-Nya:
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa. (QS al-Hajj [22]: 40).
Iman terhadap qadha dan qadar merupakan salah satu pondasi dasar keimanan; yakni mengimani bahwa Allah itu mengetahui segala sesuatu, menciptakan segala sesuatu, tak ada sesuatu apapun yang keluar dari keinginan dan takdir-Nya. Allah telah menuliskan segala sesuatu di Al-Lauh Al-Mahfuuzh, yakni lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Serta mengimani bahwa di dunia ini semuanya selain Allah makhluk, mereka dengan seluruh perbuatan mereka. Segala yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan yang tidak Allah kehendaki pasti tidak akan terjadi. Segala yang menimpa seorang hamba, tidak akan mungkin meleset, dan segala yang meleset tidak akan mungkin menimpanya. Seorang hamba itu tidaklah dipaksa untuk melakukan ketaatan atau perbuatan maksiat, akan tetapi ia memiliki kehendak sendiri yang sesuai dengan substansi dirinya, namun kehendak itu tetap di bawah kehendak Allah. Wallahu A'lam.
No comments :