Bom bunuh diri dalam timbangan syariat
Sumber dari AsySyariah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)
Semangat tapi tanpa ilmu, penyakit inilah yang banyak menjangkiti kalangan aktivis dan pemuda Islam. Lahirlah kemudian berbagai macam aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Penyanderaan, bom bunuh diri, penyerangan terhadap warga negara dan kepentingan asing, pemberontakan terhadap pemerintah muslim adalah sederet contoh tindakan yang dibungkus dengan nama jihad. Akibatnya, jihad yang syar’i justru dipandang sebelah mata oleh umat.
Jihad di dalam Islam merupakan salah satu amalan mulia, bahkan termasuk yang paling dimuliakan dalam Islam. Sebab, dengan amalan ini seorang muslim harus rela mengorbankan segala yang dimilikinya berupa harta, jiwa, tenaga, waktu, dan segala kesenangan dunia untuk menggapai keridhaan Allah U.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah. Lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111)
Sesuai maksud dari ayat di atas, amalan jihad merupakan salah satu jenis ibadah yang disyariatkan oleh Allah U. Oleh karena itu, di dalam mengamalkannya pun harus memenuhi kriteria diterimanya suatu amalan. Yaitu ikhlas dalam beramal dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah r. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan jihad tersebut tertolak. Hal ini telah disebutkan oleh Rasulullah r sebagaimana dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari z: Bahwa ada seorang Badui datang kepada Nabi r lalu bertanya: “Ada seseorang yang berperang karena mengharapkan ghanimah (harta rampasan perang, red), ada seseorang yang berperang agar namanya disebut-sebut, dan ada seseorang yang berperang agar mendapatkan sanjungan, manakah yang disebut fi sabilillah?”
Maka Rasulullah saw menjawab:
“Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah itulah yang tinggi, maka itulah fi sabilillah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya dari Abu Dzabyan, dia berkata: Aku telah mendengar Usamah bin Zaid c bercerita: “Bahwa Rasulullah r telah mengutus kami (memerangi kaum musyrikin) ke daerah Huraqah. Lalu kami pun menyerang mereka di pagi hari secara tiba-tiba. Akhirnya, kami dapat mengalahkan mereka. Kemudian aku bersama salah seorang Anshar mengejar salah satu dari mereka (yang melarikan diri, red). Ketika kami mendapatinya dan hendak membunuhnya, dia berkata: ‘Laa ilaaha illallah’. Maka orang Anshar tersebut menahan pedangnya, namun aku (tetap) membunuhnya dengan tombakku hingga mati. Maka ketika kami kembali, sampailah (berita ini) kepada Nabi r, lalu beliau berkata: ‘Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallah?’. Aku menjawab: ‘Dia (melakukan itu) untuk melindungi diri (bukan dari hatinya).’ Maka beliau terus menerus mengulangi ucapannya sehingga aku berkeinginan bahwa aku tidak masuk Islam kecuali hari itu.” (Karena Usamah merasa betapa besar kesalahan yang dilakukannya sehingga dengan masuk Islam bisa menghapuskan kesalahan yang terdahulu).
Riwayat ini menunjukkan bahwa di dalam mengamalkan agama Allah I, tidaklah cukup hanya disertai dengan semangat belaka, namun juga haruslah dibarengi dengan ilmu agar nantinya di dalam mengamalkan suatu amalan dilakukan di atas bashirah (ilmu).
Bunuh diri adalah haramsecara mutlak
Riwayat-riwayat yang datang dari Rasulullah r menjelaskan bahwa bunuh diri dengan menggunakan alat apapun merupakan salah satu dosa yang sangat besar di sisi Allah U. Berikut ini hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan tersebut:
- Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 5778) dan Muslim (no. 158), dari hadits Abu Hurairah z, beliau berkata: Rasulullah r bersabda: “Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi di tangannya, dia (akan) menikam perutnya di dalam neraka jahannam, kekal (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun lalu bunuh diri dengannya, maka dia (akan) meminumnya perlahan-lahan di dalam neraka jahannam kekal dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dia akan jatuh ke dalam neraka jahannam yang kekal (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.”
- Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Tsabit bin Dhahhak z, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Dan barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia disiksa dengan (alat tersebut) pada hari kiamat.
- Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z, berkata: Kami bersama Rasulullah saw pada perang Khaibar. Kemudian beliau berkata pada seseorang yang mengaku dirinya muslim: “Orang ini dari penduduk neraka.” Maka ketika terjadi pertempuran, orang tersebut bertempur dengan sengitnya hingga terluka. Lalu dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, yang engkau katakan bahwa dia dari penduduk neraka, sesungguhnya pada hari ini dia ikut bertempur dengan sengitnya, dan dia telah mati.” Rasulullah r menjawab: “Masuk neraka.” Hampir saja sebagian manusia (shahabat, red) ragu (dengan ucapan tersebut). Ketika mereka dalam keadaan demikian, lalu mereka dikabari bahwa dia belum mati akan tetapi terluka dengan luka yang sangat parah. Hingga ketika malam hari, dia tidak sabar lagi dan bunuh diri. Lalu dikabarkan kepada Nabi r tentang hal tersebut, maka beliau berkata: “Allahu Akbar, aku bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya”, lalu beliau memerintahkan Bilal untuk berteriak di hadapan manusia: “Sesungguhnya tidaklah ada yang masuk surga kecuali jiwa yang muslim, dan sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan laki-laki yang fajir (berbuat dosa).”
Dalil-dalil di atas, sangat jelas mengharamkan bunuh diri dengan segala macam jenisnya dan dengan cara apapun. Dan inilah yang difahami oleh para ulama rahimahumullah. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Intihar adalah bunuh diri secara sengaja dengan sebab apapun. Dan ini diharamkan dan termasuk dosa yang paling besar.” (Fatawa Islamiyyah, 4/519)
Fatwa ulama tentang bom bunuh diri
Para aktivis pergerakan dari kalangan hizbiyyun yang melakukan amalan hanya bermodal semangat namun tidak memecahkan suatu permasalahan secara ilmiah berdasarkan pandangan yang shahih terhadap Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah r, serta tidak menjadikan ulama rabbani sebagai rujukan, berusaha melakukan pembelaan terhadap amalan yang batil ini. Kalangan ‘ulama’ mereka pun berusaha mendukungnya dengan cara menempatkan dalil meski tentu saja tidak pada tempatnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka merendahkan fatwa ulama yang melarang amalan ini karena termasuk dalam hukum bunuh diri, seraya menyatakan: “Mereka adalah ulama yang tidak mengerti waqi’ (kondisi)”, “Mereka hanya sepantasnya mengurusi masalah haidh dan nifas saja. Adapun dalam masalah jihad, maka ada ulama tersendiri.” Masya Allah!
Dan ternyata yang mereka anggap sebagai ulama adalah para ‘ulama gadungan’ yang memiliki pemikiran Khawarij, Quthbi, Ikhwani seperti Salman Al-’Audah, Sulaiman Al-’Ulwan, Ibrahim Ad-Duwaisy, Sa’id bin Musfir, Yusuf Al-Qardhawi, dan yang semisal mereka. Bahkan di antara mereka ada yang menukilkan ijma’ para ulama tentang bolehnya hal tersebut. Bukankah ini penukilan yang aneh? Bagaimana mungkin terjadi ijma’ dalam keadaan para ulama besar mengingkari perbuatan ini, seperti Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Al-’Allamah Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh (Mufti Saudi Arabia), Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, dan yang lainnya rahimahumullah. (lihat Tahrirul Maqal fi Annahu Intihar Wa Laisa Istisyhad, Abu Muhammad Nashir As-Salafi, hal. 17)
Berikut ini adalah fatwa dari Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t: “Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang berupa intihar (tindakan bom bunuh diri) dengan cara membawa peledak (bom) kepada sekumpulan orang-orang kafir, kemudian meledakkannya setelah berada di tengah-tengah mereka, sesungguhnya ini termasuk bunuh diri, wal-’iyadzu billah (kita hanya memohon perlindungan kepada Allah). Dan barangsiapa yang membunuh dirinya, maka dia kekal dan dikekalkan dalam neraka jahannam selama-lamanya sebagaimana yang terdapat dalam hadits Nabi r. Sebab, bunuh diri semacam ini bukan karena kemaslahatan Islam. Karena ketika dia bunuh diri dan membunuh sepuluh atau seratus atau dua ratus (orang), tidaklah memberi manfaat kepada Islam dengan perbuatan tersebut di mana manusia tidak masuk ke dalam Islam. Berbeda dengan kisah anak muda tersebut.” (Maksudnya adalah kisah Ash-habul Ukhdud yang panjang, lihat haditsnya dalam Riyadhush Shalihin hadits no. 30 bab Ash-Shabar, pen).
Dan boleh jadi, yang terjadi musuh justru akan semakin keras perlawanannya dan menjadikan darah mereka mendidih. Sehingga semakin banyaklah kaum muslimin yang terbunuh, sebagaimana perlakuan Yahudi terhadap penduduk Palestina. Jika mati salah seorang dari mereka (Yahudi) dengan sebab peledakan ini dan terbunuh enam atau tujuh orang, maka mereka mengambil (membunuh) dari mereka (muslimin Palestina) -dengan sebab peledakan itu- enampuluh orang atau lebih, sehingga tidak mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin dan tidak bermanfaat pula bagi yang diledakkan di barisan-barisan mereka. Oleh karena itu, kami melihat bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian manusia berupa tindakan bunuh diri, kami anggap bahwa hal itu adalah membunuh jiwa tanpa hak dan menyebabkan masuknya ke dalam neraka, wal-’iyadzu billah. Dan pelakunya bukanlah syahid. Namun jika seseorang melakukan itu dengan anggapan bahwa hal tersebut boleh, maka kami berharap agar dia selamat dari dosa. Adapun bila dianggap syahid, maka tidak demikian. Sebab, dia tidak menempuh cara untuk mati syahid. Dan barangsiapa yang berijtihad dan dia salah, maka baginya satu pahala.” (Syarah Riyadhush Shalihin, 1/165. Lihat pula Tahrir Al-Maqal hal. 23-24)
Hukum menerobos sarang musuh
Banyak terjadi kesalahpahaman tentang riwayat-riwayat yang terdapat dalam hadits Nabi r dan para shahabatnya berkenaan tentang masalah ini, disebabkan ketidaktepatan mereka dalam menempatkan nash-nash tersebut sesuai proporsinya. Akibatnya, mereka tidak bisa membedakan antara hukum bom bunuh diri dengan menyerang ke barisan musuh/ sarang musuh hingga mati. Dalam masalah ini telah terjadi tiga kubu:
- Pertama, adalah kubu yang membawa nash-nash tentang menyerang ke dalam barisan musuh kepada bolehnya melakukan bom bunuh diri, sebagaimana yang dipahami oleh para hizbiyyun dari kalangan Ikhwanul Muslimin dan selainnya.
- Kedua, adalah kubu yang menganggap bahwa seluruhnya adalah tindakan bunuh diri, termasuk pula menyerang ke sarang musuh hingga mati. Ini dipahami oleh sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah tapi jahil dan tidak mampu menempatkan dan membedakan antara dua keadaan.
- Ketiga, dan ini adalah kubu yang benar, yang membedakan antara kedua hukum disebabkan karena kondisi yang memang berbeda. Kondisi kedua dilakukan dengan cara sebagian (pasukan) masuk ke daerah musuh lalu bertempur hingga terbunuh di tangan musuh, bukan meledakkan tubuh sendiri. Kondisi ini merupakan amalan yang disyariatkan berdasarkan dalil-dalil yang akan disebutkan berikut perkataan para ulama.
- Tentang tafsir firman Allah:“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai rang-orang yang berbuat baik.(Al-Baqarah: 195) Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (4/72) dari Aslam Abu ‘Imran At-Tujibi, dia berkata: Ketika kami berada di daerah Romawi di mana mereka mengerahkan pasukan besar, keluarlah kaum muslimin setara (jumlah mereka) atau lebih untuk menghadapinya. Yang memimpin pasukan dari Mesir adalah ‘Uqbah bin ‘Amir sedangkan pasukan lainnya dipimpin oleh Fudhalah bin ‘Ubaid. Maka salah seorang dari kaum muslimin menerobos masuk ke barisan Romawi hingga berada di tengah-tengah mereka. Maka berteriaklah manusia dan berkata: “Subhanallah, dia telah melemparkan dirinya ke dalam kebinasaan.” Maka berdirilah Abu Ayyub Al-Anshari z berkata: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah mentakwil ayat ini dengan penakwilan semacam ini. (Padahal) sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan kami kaum Anshar, di saat Allah telah memuliakan Islam dan semakin banyak para penolongnya, maka sebagian kami berbisik terhadap sebagian lainnya tanpa sepengetahuan Rasulullah r: ‘Sesungguhnya harta kita telah terlantar dan sesungguhnya Allah telah muliakan Islam dan semakin banyak penolongnya. Maka (alangkah baiknya) sekiranya kita memperbaiki perekonomian kita dan menata kembali apa yang telah terlantar.’ Kemudian Allah U menurunkan firman-Nya tersebut kepada Rasulullah r sebagai bantahan terhadap apa yang kami katakan. Maka kebinasaan (yang dimaksud) adalah memperbaiki perekonomian dan menatanya lalu meninggalkan peperangan.” Maka Abu Ayyub senantiasa berjihad di jalan Allah sampai beliau dikuburkan di Romawi. (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad Fi Asbabin Nuzul no. 34)
- Dan lihat pula penafsiran para ulama dalam menafsirkan firman Allah: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Baqarah: 207) ‘Umar bin Al-Khaththab dan Abu Hurairah membantah komentar orang yang mengatakan tentang salah seorang yang menerobos masuk di antara dua barisan musuh dengan menyatakan: “Dia telah melemparkan dirinya dalam kebinasaan.” Maka mereka dibantah oleh ‘Umar dan Abu Hurairah dengan firman Allah tersebut: (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 5/303 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra, 9/46)
- Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 2805) dan Muslim (no. 3523) dari Anas bin Malik z berkata: Pamanku Anas bin An-Nadhr tidak ikut serta dalam perang Badr, maka ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak ikut sejak perang pertama di mana engkau memerangi musyrikin. Sekiranya Allah memberi kesempatanku hadir dalam memerangi musyrikin, maka Allah akan melihat apa yang akan aku perbuat!” Maka ketika pecah perang Uhud dan kaum muslimin kalah, ia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku berudzur padamu dari apa yang dilakukan mereka ini (yaitu larinya kaum muslimin dari medan pertempuran) dan aku berlepas diri kepadamu dari apa yang dilakukan mereka ini (kaum musyrikin).” Lalu Anas bin An-Nadhr maju dan bertemu Sa’ad bin Mu’adz lalu berkata: “Wahai Sa’ad bin Mu’adz, jannah (surga), demi Rabb An-Nadhr, sesungguhnya aku mencium baunya di bawah kaki Gunung Uhud”. Kata Sa’ad bin Muadz: “Aku tidak mampu berbuat sepertinya, wahai Rasulullah.” Anas bin Malik berkata: “Lalu kami menemukannya dengan 80 lebih luka berupa tebasan pedang, tombak, dan lemparan panah. Dan kami menemukannya telah dicincang oleh kaum musyrikin. Maka tidak seorang pun mengenalnya kecuali saudara perempuannya yang mengenali jarinya.” Anas bin Malik berkata: ‘Kami mengira bahwa ayat ini (Al-Ahzab: 23) turun berkenaan tentangnya’.
- Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim (13/45-46) dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw ketika bersabda: “Bangkitlah kalian menuju jannah yang seluas langit dan bumi”. ‘Umair bin Al-Humam Al-Anshari berkata: “Wahai Rasulullah, jannah seluas langit dan bumi?” Beliau menjawab: ‘Ya.’ Dia pun berkata: ‘Bakhin, bakhin’ (ucapan yang menunjukkan rasa takjub, pen). Maka bertanya Rasulullah: ‘Apa yang membuatmu mengucapkan ‘bakhin, bakhin’?” Dia menjawab: ‘Tidak wahai Rasulullah, melainkan aku berharap agar (aku) termasuk penduduknya.’ Beliau berkata: ‘Engkau termasuk penduduknya.’ Maka dia (‘Umair) mengeluarkan beberapa buah kurma dari tempatnya lalu memakannya. Kemudian berkata: ‘Jika aku hidup sampai aku memakan buah kurmaku ini, sesungguhnya ini adalah kehidupan yang panjang.’ Lalu diapun melempar kurma yang ada di tangannya kemudian bertempur hingga terbunuh.”
Dan selain itu, masih ada beberapa dalil yang lain yang menunjukkan bolehnya amalan ini. (Lihat Sunan Al-Kubra karya Al-Baihaqi, bab Man Tabarra’a Bitta’arrudh Bil Qatl, 9/43-44).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Oleh karena itu, para imam yang empat membolehkan seorang muslim menerobos ke dalam barisan orang-orang kafir, meskipun kemungkinan besar mereka (musuh) akan membunuhnya, jika yang demikian mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin.” (lihat Majmu’ Fatawa, 28/540)
Membantah syubhat yang membolehkan bom bunuh diri
Mereka yang berpendapat bolehnya melakukan bom bunuh diri selalu menggunakan hujjah berupa dalil-dalil yang membolehkan menerobos masuk ke sarang musuh, -dan telah jelas bagi para pembaca rahimakumullah (semoga Allah merahmati Anda semua)- perbedaan di antara keduanya. Namun masih ada satu dalil yang juga mereka jadikan sebagai alasan bolehnya amalan ini, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, yang menceritakan tentang Ashabul Ukhdud, di mana seorang pemuda yang bertauhid memberikan petunjuk kepada sang raja yang dzalim tentang cara membunuhnya, yang mendatangkan kemaslahatan yang luar biasa, yaitu masuk Islamnya seluruh penduduk kampung dan meninggalkan agama nenek moyangnya. (Lihat kisahnya dalam kitab Riyadhush Shalihin bab Ash-Shabr, hadits no. 30)
Bantahan terhadap pendalilan mereka dengan kisah ini dari beberapa sisi
- Pertama: Bahwa hadits ini gambarannya adalah seorang pemuda yang menjadi sebab terbunuhnya dirinya, namun mendatangkan kemaslahatan yang jelas adanya, yaitu masuk Islamnya seluruh penduduk kampung. Berbeda dengan bom bunuh diri yang sama sekali tidak mendatangkan kemaslahatan, bahkan kemudharatan yang semakin besar dengan terbunuhnya kaum muslimin dengan jumlah yang semakin hari kian bertambah. Manakah kemaslahatan? Apakah orang-orang Yahudi berbondong-bondong masuk Islam dengan sebab amalan tersebut? Berfikirlah wahai orang-orang yang berakal.
- Kedua: Bahwa pemuda tersebut tidaklah membunuh dirinya sendiri namun dia terbunuh melalui tangan sang raja di saat sang raja mengucapkan kalimat tauhid. Maka, masuk Islamlah seluruh penduduknya. Berbeda dengan bom bunuh diri yang meledakkan dirinya sendiri bersama yang lainnya, dan membunuh dirinya sendiri dengan sengaja. Manakah persamaan itu?
- Ketiga: Berbeda antara bunuh diri dengan memberikan petunjuk tentang cara membunuh dirinya, karena pemuda ini mendapatkan ilham akan adanya kemaslahatan yang lebih besar. Adapun bom bunuh diri yang mereka lakukan tidak lebih dari meninggalkan dampak yang lebih buruk yang menimpa kaum muslimin dengan sebab balas dendam yang dilakukan oleh orang-orang kafir Yahudi terhadap kaum muslimin yang lemah. Ditambah lagi kurangnya ilmu yang mereka miliki serta tersebarnya kebid’ahan, kemaksiatan, dan jauhnya mereka dari ilmu As-Sunnah. (Lihat Ar-Raddu ‘ala Mujizil Intihar, Mahir bin Zhafir Al-Qahthani, hal. 6-7).
Wallahul musta’an.
No comments :