Latest News

Sebagai Ummat Muslim, Marilah Kita Lebih Meningkatkan Ibadah Kepada Allah SWT, Mematuhi Perintah-Nya dan Menjauhi Larangan-Nya. WebLog ini Kupersembahkan Kepada Ayahanda dan Ibunda Tercinta H. Hamma Ali Mona dan Hj. Hamidah. Semoga Segala Amalan Beliau Diterima dan Mendapatkan Tempat yang di Ridhai serta Kasih-Sayang dari Allah SWT. Amin... Jika berkenan, marilah kita membacakan Surah Al-Fatihah untuk Beliau... Termakasih
Subscribe

Subscribe

Subscribe

Subscribe

Subscribe

Subscribe


Popular Post


    Sebagai Ummat Muslim, Marilah Kita Lebih Meningkatkan Ibadah Kepada Allah SWT, Mematuhi Perintah-Nya dan Menjauhi Larangan-Nya. WebLog ini Kupersembahkan Kepada Ayahanda dan Ibunda Tercinta H. Hamma Ali Mona dan Hj. Hamidah. Semoga Segala Amalan Beliau Diterima dan Mendapatkan Tempat yang di Ridhai serta Kasih-Sayang dari Allah SWT. Amin... Jika berkenan, marilah kita membacakan Surah Al-Fatihah untuk Beliau... Termakasih

    Epistemologi Makrifat

    Sumber : Republika Online

    Prof Dr Nasaruddin Umar
    Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Wakil Menteri Agama RI



    Pengetahuan yang diperoleh melalui olah nalar disebut dengan ilmu ('ilm) dan pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin disebut makrifat (ma'rifah). Secara kebahasaan, kata 'ilm berasal dari akar kata alima-ya'lamu, berarti mengetahui. Seakar kata dengan 'alam, berarti tanda, petunjuk, bendera.'Alamah berarti alamat atau suatu tanda yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya'lamu al-syai). Dalam pembahasan terdahulu tentang alam dijelaskan segala sesuatu selain Allah (ma siwa Allah) adalah alam. Alam adalah tanda menunjuk kepada (adanya) Allah SWT. Alam juga sekaligus memberikan kesadaran dan pengetahuan tentang Allah SWT. Dari segi kebahasaan dapat ditangkap makna 'ilm dan 'alam memiliki konotasi fisik dan mekanik (hushuli).

    Sedangkan, makrifah berasal dari kata 'arafa-yurif, memiliki berbagai makna yang lahir dari padanya, antara lain, mengetahui dan mengenal lebih dalam (i'rfah), pengakuan dosa (i'tiraf), wukuf di Arafah ('arrafah al-hujjaj), Padang Arafah ('arafat), tempat antara surga dan neraka (a'raf), bersetubuh ('arafah al-ma'ah), saling mengenal satu sama lain (ta'aruf), warisan tradisi lama yang positif ('urf), terkenal, masyhur (ma'ruf), ilmu pengetahuan luas (ma'arif), dan pengetahuan yang mendalam dan komprehensif ('irfan/ma'rifah). Dari segi kebahasaan dapat dipahami makna makrifat memiliki konotasi lebih tinggi dan agung (hudhuri).

    Dengan perbedaan tersebut, dengan sendirinya antara ilmu dan makrifat memiliki ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini bisa dipahami melalui perbedaan antara ilmu-ilmu hushuli dan ilmu-ilmu hudhuri (lebih lanjut mengenai hal ini lihat artikel terdahulu: "Antara Ilmu Hudhuri dan Ilmu Hushuli").

    Secara ontologi, ilmu ('ilm) masih lebih banyak berkutat pada wilayah logika manusia. Referensi yang digunakan untuk memahami ilmu juga masih bersifat fisik dan visual, meskipun dalam tingkatannya yang lebih tinggi, khususnya dalam level filsafat makna, sudah ada yang mulai bertumpang tindih dengan level awal ontologi makrifat. Ontologi makrifat, sebagaimana arti dasarnya, lebih mengacu pada wilayah-wilayah yang dapat dikatakan asing bagi para ahli ilmu pengetahuan (saintis).

    Meskipun demikian, sesungguhnya para saintis tidak bisa serta-merta menafikan keberadaan ontologi keilmuan makrifat karena secara de facto banyak peristiwa yang diungkap oleh pengetahuan makrifat sulit dibantah oleh para saintis. Sebutlah contoh tentang efek keberadaan Tuhan yang dulu dinafikan oleh para saintis positivisme, tetapi di dalam era posmodernisme mulai diberi ruang. Terakhir para saintis dalam era new age tidak bisa menyembunyikan adanya Godspot di dalam diri manusia. Kini para ilmuwan modern, sesekuler apa pun mereka, tidak dapat lagi terus-menerus 'menyerang' kaum agamawan (baca: agnostik) karena mereka sendiri meragukan dirinya sendiri.

    Bahkan, di negara-negara maju sekarang sudah mulai demam kajian spiritual. Kabbalah (mistisisme Yahudi) yang dulu diharamkan oleh para Rabbi karena dianggap bid'ah kini laksana cendawan tumbuh di mana-mana. Di New York, tepatnya The Manhattan Center, yang terletak di 155 E/84 St, di jantung Kota New York berdiri tegak Kabbalah Center. Jauh sebelumnya, Karen Berg pernah mendirikan The National Research Institute of Kabbalah di Los Angeles, yang sampai sekarang ramai dikunjungi artis Hollywood dan ilmuwan Yahudi di sana. Di Eropa dan Amerika Latin juga demikian halnya. Lembaga-lembaga meditasi bahkan sudah dibuka di sejumlah universitas terkemuka. Buku-buku new age pernah mendominasi sejumlah toko buku di Amerika dan Eropa. Pusat-pusat sufistik akhir-akhir ini mungkin lebih ramai di Barat daripada di Timur. The Beshara School, sebuah lembaga spiritual yang bertaraf internasional, sudah mulai go public dan merambah hampir di seluruh negara. Begitu pun Ibnu 'Arabi Society, para anggotanya semakin besar, sebagaimana dapat dilihat di webnya. Pengikut Kabbani dan Bawa Muhaiyaddeen di AS juga semakin ramai dikunjungi pengikut. Di antara mereka bukan orang awam, tetapi sangat terdidik dan pejabat.

    Meningkatnya gerakan sufisme di berbagai tempat menandakan adanya ketidakpuasan manusia terhadap capaian ilmu pengetahuan selama ini. Paling tidak kehausan intelektualitas manusia ternyata tidak mampu dipuaskan oleh ilmu pengetahuan ('ilm). Manusia menginginkan lebih dari sekadar ilmu yang hanya mampu memberikan kepuasan logika. Kepuasan sejati hanya dapat dirasakan manakala menyentuh aspek hakiki dari manusia yang namanya kepuasan batin. Justru kepuasan batin inilah yang kemudian mendatangkan kesadaran kemanusiaan yang lebih tinggi.

    Untuk bisa sampai pada tingkat kepuasan batin ini dibutuhkan pengetahuan tingkat tinggi yang biasa disebut dengan makrifat, yang sesekali disebut irfan atau dalam istilah tasawuf biasa disebut dengan mukasyafah. Mukasyafah berarti penyingkapan tabir-tabir (hijab) yang selama ini menghijab manusia untuk mengakses sebuah dunia yang agung, di mana manusia bisa meraih kepuasan yang luar biasa.

    Epistemologi makrifat lebih dari sekadar menempuh epistemologi keilmuan biasa. Persyaratan yang harus ada di dalam menggapai tingkat makrifat Al-Qusyairi ialah penyucian diri dari berbagai dosa dan maksiat, bersih dari urusan dan ketergantungan dunia, terus-menerus bermunajat di hadapan Allah dengan cara sirri, selalu memelihara kelembutan jiwa dan budi pekerti, serta penuh pengendalian dan mawas diri. Bagi orang yang mencapai tingkat mukasyafah (penyingkapan), ia akan berada pada tingkat musyahadah (penyaksian kepada zat Yang Mahamulia). Dalam keadaan seperti ini, manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan.

    Rawaim Ibnu Ahmad pernah menggambarkan orang yang mencapai tingkat makrifat bagaikan seorang menyaksikan cermin. Jika ia melihat cermin itu, akan tampak jelas Tuhannya. Zunnun al-Mishri melukiskan orang-orang yang bergaul dengan penerima makrifah seperti orang-orang yang bergaul dengan Allah SWT. Menurut al-Hallaj, "Jika seorang hamba telah sampai kepada makrifatullah, Allah akan membisikkan kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya dari kata hati yang tidak benar." Abu Yazid al-Busthami pernah ditanya perihal orang yang mencapai makrifat, ia menjawab, "Orang arif adalah penerbang dan orang zuhud itu pejalan kaki." Selanjutnya, ia menambahkan, "Ketika ia tidur ia tidak melihat selain Allah, ketika ia terjaga ia tidak melihat selain Allah, ia tidak beribadah selain kepada Allah."

    Untuk urusan lebih teknik untuk memperoleh makrifat, Ahmad Ibnu Atho' berkomentar: "Makrifat itu memiliki tiga rukun, yaitu takut kepada Allah, malu kepada Allah, dan senang kepada Allah." Jadi, memang tidak gampang mencari dan menemukan makrifat. Hampir seluruh ulama sepakat bahwa cara untuk meraih sukses mencapai makrifat ialah kebersihan batin. Untuk itu, penyucian jiwa (tadzkiyah al-nafs) dan keindahan batin (tanwir al-qulub) serta niat yang tulus merupakan persyaratan mutlak yang harus diwujudkan di dalam diri murid.

    Pada dasarnya, manusia itu memiliki kemampuan dan kecerdasan, bahkan makrifat. Hanya, mereka terkontaminasi oleh lingkungan sosial sehingga mereka perlu berzikir (mengingat kembali). Ayat yang sering dilibatkan kelompok ini, antara lain, fas'alu ahl al-dzikr inkuntum la ta'lamun. (Bertanyalah kalian kepada ahli zikir jika kalian tidak tahu); Afala tatadzakkarun (Mengapa kalian tidak mengingat kembali?), dan Aqim al-shala li dzikri (Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku). Kelompok ini mengedepankan penyucian diri dalam bentuk tazkirah, tashawwuf, tashwir, dan tazkiah untuk menjernihkan kembali pengetahuan inti yang pernah dibekalinya sejak lahir.

    Menuntut ilmu-ilmu makrifat juga diperlukan kesantunan kepada guru (mursyid), sebagaimana dapat dilihat di lembaga-lembaga spiritual, termasuk dalam tradisi pondok pesantren. Ketawadhuan seorang murid dan kesantunan seorang guru atau kiai adalah adanya tradisi keluhuran dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan ayat: "Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (QS al-Baqarah [2]: 151).


    No comments :

    Leave a Reply